Jumat, 31 Desember 2010

Debu di Malam Festival Seni Budaya, Tak nyangke...!!!

Oleh: Rayesti Dwitiya Pramundari
(NIM.F01109024) 

17 Desember 2010.
Pukul 19.30 WIB. Hujan belum juga berhenti. Walau tak begitu deras, namun dinginnya tetap membuat kulit mengkerut. Sempurnanya kondisi seperti ini dilewati dirumah dengan secangkir susu hangat ditambah satu teko lagi untuk persiapan, kaos kaki tebal, duduk di sofa empuk sambil menonton film “Sponge Bob Square Pants”, Cocok!! Tapi aku lebih memilih untuk menerjang hujan, pergi ke Rumah Melayu Pontianak hanya untuk mengerjakan tugas mata kuliah Bahasa Indonesia ku. Keren!!
Bersama tiga orang temanku, kami pergi mengendarai motor. Along, temanku melesat dengan MX nya, tentunya dia di belakang MX ku karena aku “kepala jalannya”. Di ikuti Eno yang posisinya juga di belakang ku. Sedangkan Aya, di boncengi oleh ku.
Kami memarkir motor di kantor BPS, tepat disebelah Rumah Melayu. Kemudian melangkah masuk ke Rumah Melayu melewati sebuah gerbang namun tak dijaga dua malaikat! Pemandangan nya sama saja dengan kemarin hari saat pertama kali aku mengunjungi festival ini. Begitu masuk, kita akan melihat sederet penjual bunga hias yang menunjukan keanggunan tanaman-tanamannya, orang yang berlalu lalang, tak begitu ramai, mungkin karena cuaca yang sedikit gerimis, kebanyakan orang yang duduk di tempat menjual makanan, mungkin sekalian berteduh, dan beberapa orang tampak sedang menikmati pameran lukisan di bagian atas Rumah Melayu. Aku hanya bergumam dalam hati, “Apa yang mau diceritakan ya...?”. Bingung.
Kami memutuskan untuk berkeliling melihat kondisi malam itu. Baru saja beberapa langkah kami memulai “ekspedisi”, terdengar bunyi sirine dari sebuah kendaraan. Orang-orang sontak berkata,” Debu..Debu..”. bunyi sirine itu terdengar mengarah masuk ke Rumah Melayu, aku mulai ngeh mendengar orang-orang menyebut,”Debu..Debu..”, karena temanku menjelaskan bahwa grup musik bernama Debu hendak “Mengguncangkan” acara malam ini. Kami pun bergeges menuju arah suara, juga orang-orang yang sedari tadi, datang lebih dahulu dari kami, yang menanti kehadiran Debu.

Saat kami sampai ke TKP, tak tampak tanda-tanda kehadiran personil Debu. Hanya ada beberapa mobil yang siap parkir. Oh, mungkin kami ketinggalan moment melihat artis keluar dari mobil, sayang sekali! Tak masalah, kami akhirnya memutuskan untuk menunggu performance yang mungin akan di tampilkan di pendopo yang sudah disiapkan. Kemudian mencari kursi kosong dan tidak duduk dengan tenang. Kondisi pendopo mulai ramai. Satu per satu kursi yang tersedia terisi oleh pengunjung, hanya menyisakan beberapa bangku kosong. Kami lantas berbincang-bincang, tidak menyangka akan menyaksikan Debu “mentas” di acara ini, malam ini.
Lalu datang lah satu orang temanku lagi, Fithra, yang memang ingin melihat-lihat kondisi festival malam ini. Dia duduk di depan kami. Kemudian larut juga dalam perbincangan sambil sebentar-sebentar menulis beberapa hal yang akan di jadikan bahan tulisan. Saat asik mengobrol, seorang bapak yang duduk di belakang kami menyapa dengan tiba-tiba.
“Ada Debu ya...?”
Kami menoleh kebelakang.
“Katanya sih ada, aku pun ada liat di koran tadi pagi katanya ada,” jawab temanku Eno.
“iya, emang ada. Tapi di koran tu tulisnya hari jumat tapi tanggalnya salah,” lanjutnya sedikit mengkritisi sebuah koran yang terbit tadi pagi.
“Iya sih aku ada liat di koran, tapi cuma liat hari jak ndak memperhatikan tanggalnya,” tambah Eno lagi.
Kemudian orang itu pun mengenalkan dirinya dengan nama ‘Bang Don. Lalu dia menanyakan beberapa hal yang kemudian dia memberikan data pribadi sekedarnya kepada kami. Dia tulis di buku catatan ku:

PRADONO-Bang DON
Pendiri Sanggar KIPRAH FKIP Untan (1987)
08125783943-0561 7966890
imel: pradono3@yahoo.com
fb: pradono singkawang (foto2 pribadi)
weblog: www.mengalir-bagai-air.blogspot.com
( karya2 puisi, cerpen, esai. dll. + foto teater)

Home : Jl. Adi(s) Sucipto Gg. H. Kasim/72 (samping koperasi KERTA/ blkg Taxi New ARDHA
dari UNTAN Imbon sebelum belokan BLKI

Kemudian dia, ‘Bang Don, sibuk dengan teleponnya.
Kami pun melanjutkan percakapan sambil sedikit mengomentari layar tancap, begitu aku menyebutnya, yang melayang-layang tertiup angin karena satu sisi ikatannya lepas, lalu diselingi dengan menulis untuk mencatat hal-hal penting yang mungkin akan kami tuliskan dalan tugas ini. Dilayar tancap itu, tampak dua orang yang dipaggil Pa’ Tue dan Pa’ Mude dengan khidmat membawakan lagu Sungai Kapuas dan Galaherang ditambah beberapa percakapan mengibur dan beberapa pantun yang melayu sangat, (kental dengan bahasa Melayu). Selang beberapa metit kemudian, satu orang dari belakang panggung masuk dan membisikkan sesuatu pada mereka. Sekejap kemudian mereka memberitahukan bahwa Debu akan “beraksi”.
Penonton mulai bereaksi, yang tadinya duduk manis di pendopo dengan sigap melangkah menuju arah panggung. Aku dan teman-temanku yang cukup bersemangat dengan adanya Debu pun mengikuti orang-orang melangkah menuju panggung. Satu orang personil Debu bernama Daud naik ke panggung. Orang-orang makin cepat mendekati panggung. Sebentar saja di sekitar panggung mulai padat dengan orang-orang yang ingin melihat Debu. Stan-stan di sekitar panggung pun mulai padat. Meskipun gerimis, namun daya tarik dari Debu membuat pengunjung festival ini tak urung untuk melihat, bahkan aku rasa adanya Debu merupakan nilai tambah untuk menarik pengunjung.
Lima orang personil Debu hadir dibantu, mungkin, oleh dua orang pemain tambahannya. Begitu lagu pertama dibawakan, antusiasme penonton makin tinggi. Orang-orang bertepuk tangan, kebanyakan orang terhanyut dalam permainan lagu yang dibawakan hingga tak segan-segan untuk berjoget dangdut walaupun lagu yang dibawakan bukanlah lagu dangdut. Ada yang merekam penampilan itu dengan kameranya, ada yang sibuk mengambil gambar dirinya sendiri, ada yang bergoyang riang, bahkan ada beberapa ibu yang memanjat sebuah kayu di sebuah stan untuk melihat penampilan Debu dengan jelas.
Aku memandangi sekitar. Beberapa polisi berjaga-jaga di bagian belakang penonton. Kondisi di sekitar panggung makin padat. Dari atas panggung, pembawa acara sempat meningatkan pada penjaga stan pameran agar tak meninggalkan stan nya begitu saja, “nanti ilang pulak sulam emas nye”, celetuk sang pembawa acara.
Aku dan teman-temanku mengikuti hingga lagu ketiga di bawakan. Aku sebenarnya masih ingin mendengarkan lagu-lagu yang akan di bawakan berikutnya. Namun aku urung karena hari sudah larut malam. Jam di ponselku menunjukkan pukul 21.30. Kami melangkah pulang.
Dibagian luar panggung ternyata pengunjung makin ramai dibanding saat aku datang. Pendopo masih ramai orang yang menonton dari layar tancap, begitu aku menyebutnya. Beberapa orang mengelilingi penjual mainan anak-anak, tempat penjualan makanan masih ramai, sedangkan bagian atas Rumah Melayu tempat pameran lukisan tampak sepi.
Aku, maksudku kami tak menduga bisa menyaksikan penampilan Debu secara langsung, manjadi suatu kesan tersendiri. Aku hanya berceloteh dalam hati, “Tak nyangke.....”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar