Jumat, 31 Desember 2010

Cuci Mata Ke Rumah Melayu

Oleh: Chomsiah
(NIM.F01109005)

Rabu 15 Desember 2010, sekitar pukul 11.00 WIB, menggunakan motor bututku, aku dan Veni mengunjungi kantor balai pusat statistik (BPS) Pontianak guna mencari data pendapatan asli daerah. Panas terik matahari membuatku semakin laju mengendarai motorku. Tanpa sepatah katapun keluar dalam perjalanan seolah selaras dengan keadaan kulit yang terbakar, hati terasa gersang membaca ketidakikhlasan sahabat, mulut terkunci rapat, diam seribu bahasa.
Tit! Tit! Tit!
Di depan kantor BPS yang letaknya bersebelahan dengan rumah melayu. Motor dari arah berlawanan tidak sabar untuk diberhentikan karena aku hendak menyeberang, maklum panas matahari memang sedang tidak bersahabat. Dalam hati aku bergumam, “ada apakah gerangan? Mengapa kantor yang biasa paling sepi sedunia mendadak ramai bak pesta raja sehari? Pakai banyak tukang parkir segala, pemerintah sudah kaya kali ya?” ujarku dalam hati.
Perlahan namun pasti kuperhatikan dengan jeli, mata terbelangak, hidung memanjang, dan telinga melebar. Pertanyaanku terjawab sudah, ternyata suara ramai yang memecah hiruk-pikuk kota Pontianak bukan berasal dari kantor BPS tetapi dari sebelah gedung BPS, yakni rumah melayu. Selidik punya selidik ternyata di rumah melayu ada festival budaya melayu.
Mencoba memecah kesunyian, aku berbicara.
“Ven setelah kuliah besok kita pergi ke rumah melayu yok?” kataku pada Veni.
“Yok lah.”, jawab veni.
Hari kamis tiba, artinya mata kuliah bahasa Indonesia berlangsung, sungguh tak kuduga ternyata tugas laporan jurnalistik yang lalu diganti dengan membuat cerita naratif yang berasal dari festival budaya melayu. Aku pun semakin bersemangat untuk pergi ke festival itu. Selain karena aku ingin cuci mata dan mengintip budaya melayu tetapi ada manfaat lain yaitu mencari tugas.

Setelah jam kuliah pertama selesai, aku pergi ke kantor BPS kembali untuk mengembalikan buku yang ku pinjam, hati ini ingin sekali mampir ke rumah melayu karena aku dihantui rasa penasaran tetapi sedih luar biasa kurasakan saat kuingat ada hal yang tak bisa ditinggalkan yaitu salat zuhur dan setelah itu aku harus masuk kuliah kembali. Karena yakin semua akan indah pada waktunya, maka ya sudah lah buat apa difikirkan mungkin aku memang harus sabar menanti waktu yang tepat itu tiba.
Dosen yang mengajar kami siang itu tidak hadir, aku dan teman-teman sudah berjanji setelah makan siang berangkat ke rumah melayu. Tetapi apa yang terjadi hujan lebat mengguyur kota Pontianak sampai malam hari sehingga mematahkan semangat juangku. Akhirnya hasratku untuk bertandang ke rumah melayu harus ditunda lagi sampai hari Sabtu karena hari Jumat skedulku sudah padat merayap.
Huh hah
Aku menarik nafas dalam-dalam kemudian kulepaskan kembali. Otakku berfikir keras, apakah tidak bisa dipercepat? Pikirku. Hari Sabtu itu sudah penutupan, apa yang mau dilihat? Masak iya mau menceritakan kendaraan yang berlalu-lalang saja, ih….tak kreatif sekali, bagaimana mau dapat nilai A kalu tidak ada usaha. Hatiku berkecamuk seolah berperang antara ruh baik dan ruh jahatku.
Jumat, pukul 09.20 WIB
Aku menanti kedatangan dosen sambil termenung di kelas, masih terbayang-bayang akan rumah melayu. Setelah setengah jam menunggu, ternyata dosen tidak hadir.
Yes! Yes!
Suasana gaduh di dalam kelas karena kegirangan termasuk juga aku. Tanpa berfikir panjang aku dan teman-teman langsung bergegas meninggalkan ruangan dan menuju rumah melayu padahal kampung tengah juga sudah berteriak meminta jatah, tetapi saking semangatnya semua itu tidak aku pedulikan.
Sesampainya di rumah melayu, ternyata sepi tetapi itu tidak menyurutkan semangatku. Seakan hilang ingatan tidak lagi ingat kalau hari Jumat, orang salat jumat. Akhirnya aku harus menunggu lagi sampai orang selesai salat jumat. Menunggu adalah hal paling membosankan, daripada waktu terbuang sia-sia dan yang ditunggu juga tidak jelas apa karena aku tidak tahu jadwal kegiatannya.
Aku memutuskan untuk berkeliling melihat-lihat orang berjualan. Mereka menjual barang-barang hasil kerajinan tangan seperti gelang, kalung, cincin, topi, tas. Selain itu, ada juga masakan kuliner dan tanaman hias. Barang-barang yang dijual cukup unik tetapi berhubung persediaan uang sudah menipis aku harus menahan hasrat belanjaku yang kadang tidak terkontrol seperti motor tanpa rem.
Pundak terasa pegal, mulut menguap, mata berkaca-kaca, pandangan tidak lagi jelas itu artinya staminaku sudah habis dan kalau tidak langsung istirahat bisa pinsan karena aku menderita tifus. Aku mengajak teman-teman istirahat di tempat yang teduh agar dapat melepas penat walau sejenak.
Ketika kami istirahat, ada panitia yang lewat. Dengan suara mendayu-dayu aku bertanya,
“Kapan acaranya mulai kembali, Pak?” tanyaku pada salah satu panitia.
“Nanti sebentar lagi juga mulai, tunggu saja!” jawabnya.
Apa yang dikatakan panitia ternyata benar, tidak lama kemudian pameran lukisan dibuka. Tanpa memikirkan kondisi tubuh, aku melihat satu-persatu lukisan tersebut. Lukisan yang ada bermacam-macam judul, ada sungai desa lubuk batu, pohon ditepi sungai gunung, pantai kijing, suasana pulau temajo, pemandangan dibawah kaki gunung, tidak ada perbedaan, dan masih banyak lainnya.
Dari kesekian banyak judul yang ada, yang paling menarik perhatianku adalah lukisan yang berjudul tidak ada perbedaan karya dari Bani Hidayat asal Kabupaten Sanggau. Aku sangat terkesan bukan karena berasal dari kabupaten yang sama denganku tetapi karena lukisannya yang sederhana, simple, dan penuh makna.
Bentuknya hanya seperti sandal dan sepatu, kemudian ada kaki orang yang sedang salat. Dari gambar dan judulnya makna yang kutangkap sangat mendalam yaitu menyiratkan tentang derajat manusia yang sama di hadapan Allah SWT, tidak memandang status dan strata sosial.
Dug dug
Gema yang menghentak bumi khatulistiwa, menyedot perhatian pengunjung tak terkecuali aku. Dengan tergopoh-gopoh aku menyusuri jalan menuju panggung tempat suara itu berasal. Di panggung terdapat banyak orang bermodel bule, dengan jarak pandang yang tidak efisien aku tidak mengenali siapa yang berada di panggung.
Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata Debu yang salah satu lagunya merupakan lagu favoritku. Debu sedang cek sound dan kukira setelah fiks langsung tampil. Di bawah terik sinar matahari, aku dan pengunjung lainnya menunggu penampilan Debu. Setelah lama menanti ternyata penampilan Debu akan diadakan malam harinya. Aku tidak bisa menyaksikan penampilan Debu merupakan kenyataan yang sungguh mengecewakan.
Aku belum beranjak dari rumah melayu karena ada satu lagi pemandangan yang tak biasa kulihat yaitu “SBK SCOOTER KAL-BAR” yang didesain dengan bentuk yang unik dan menarik layaknya sebuah kapal. Warnanya sangat menawan yaitu perpaduan antara warna kuning, hijau, dan orange sehingga manjadi penambah kemeriahan panggung.
Wujud apresiasi pengunjung terhadap “SBK SCOOTER KAL-BAR” adalah dengan memboyong keluarga dan sahabat berphoto di scooter tersebut. Selain itu, adapula yang terlihat sangat romantis bersama pasangan, baik yang masih pacaran atau yang baru menikah.
“Wah, asyik sekali serasa dunia milik berdua yang lain ngontrak,” kataku pada salah satu temanku.
“Jangan bilang kamu kepingin,” sahut Hasanah.
“Ya gitu deh,” jawabku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar