Jumat, 31 Desember 2010

Akhir dari Festival Seni Budaya Melayu VI MABMKB

Oleh: Rara Wiraswita (smile_akhwat07@yahoo.com)
(NIM.F01107012)

18 Desember 2010 pukul 17.35 tepatnya setelah hujan reda dan menjelang magrib, aku tergopoh-gopoh bersama Gadis berbaju batik (namanya memang gadis), hari itu ku sempat-sempatkan untuk datang karena hari itu adalah hari terakhir dari FSBM VI karena sungguh PPLku kala itu membutuhkan perhatian lebih dariku.
Saat ku datang dengan baju kuyup, aku sisiri semua daerah adat melayu itu,
“tak ada yang special” gumamku dalam hati,
sementara temanku Gadis masih sibuk dengan alur pikirnya akan laporan PPL.
“Ini memang pemaksaan Gadis, maafkan aku” menyesalku dalam hati.
Aku memerlukan sudut pandangmu sebagaimana engaku memerlukan aku sebagai pemadu jalan ke rumah Dosen malam ini juga.
Selewatnya kami memarkir motor yang dengan tariff Rp 2.000,- per kendaraan. Kami melangkah gontai menuju Rumah Adat Melayu yang layu diterpa hujan. Ku kunjungi setiap stand,
“cukup beragam” ucapakan ku untuk memecah kedinginan diantara kami.
Gadis hanya menatap, entah menandakan ia mendengar atau meminta pengulangan atas kalimatku. Aku senyum saja untuk melumerkan suasana.
Aku merasa situasi ini mulai tak nyaman, karena focus temanku tak bersamaku. Akhirnya ku cari panitia untuk ku tanyai jadwal festival hari ini. Aku bertemu tapi tak berani bertanya. Aku gugup karena mereka berbadan tinggi besar. Aku anggukan kepala saja kepada mereka.

Aku susuri kembali halaman bawah bagunan khas tersebut, ku melihat pintu terbuka yang cukup ramai orang-orang berada didalamnya. Ku lirik kertas putih yang menempel disamping pintu, “ini dia” tunjukku.
Ku lihat jadwal, “ehm… penutupan, baiklah mungkin hanya ini jatah untukku” bicaraku sendiri,
“yuk pulang” ajakku pada wanita yang sedari tadi terus mengutak-ngatik HPnya.
“hah? Pulang” jawabnya seolah kaget
“iya” jawabku singkat “kan masi mau ngejar tanda tangan dosen untuk laporan kalian? “
“tapi tugasmu?” balasanya yang terasa hawatir dengan ku.
“tar malam aja, sekarang gak ada apa-apa” responku sok menangkan.

Magrib kami habiskan dijalan, sampai isya pun masih dalam perjalanan tapi perjalanan pulang kali ini. Kuputuskan untuk pulang dulu, berganti baju, lantas baru mengejar acara penutupan festival.
Aku janjian dengan gadis, karena ia ingin tetap ikut walau sudah ku sarankan untuk istirahat di rumah sahaja.
Tepat pukul 20.30 sesuai jam janjian aku berada di jalan Sultan Syahrirabbdurrahman, dentuman meriam seolah menyambut kedatangku karena hiasan pengganti janur tak lagi sanggup menyapa para pengunjung, mereka seperti lelah.
Ku parkir si butut di kantor Gubernur lama, depan pintu kantor arsip daerah, “tada lagi tanah melayu untuk mu tut” ledekku pada si motor hitam.
Kujalankan kaki ku dengan berat karena gelap buat kantukku tak tertahankan, ku lihat langit yang menaungi Festival kebanggaan suku melayu tersebut penuh binar kembang api. Aku lewat pintu masuk, “sesak” itulah satu kata yang tepat untuk situasi kala itu. Aku berdiri kira-kira 5 meter dari LCD besar ke-2 yang terpasang disana.
Kuingat-ingat apa yang baca sore tadi, “ 20.00 – selesai: penutupan menampilkan juara-juara dari setiap perlombaan” itu yang terlintas saat ku mengingat.
Penutupan, kulihat di layar tersebut berisikan para lelaki yang menari. “inikah pemenang lomba tari?” pertanyaan ku sendiri yang pasti tak ada yang menjawab.
Ku terka-terka dimana lokasinya, ku miringkan kepala untuk melongokan pandangan pada panggung yang ada didepanku.
“kosong” kataku spontan. “gimana sih ada layar tapi gada sound” dumelku.
Aku paksa kan kaki untuk membawa diri lebih jauh, “naik keatas ajah ah”
“padat banget” aku mulai terhasut rasa lapar dan kantuk.
Ku jinjitkan kaki pada jendela, ah hanya ada kepala-kepala saja.
Kucoba ikut meramaikan antrian yang sudah sepertinya tak perlu lagi diramaikan.
“ada bule”
“liat tuh”
“yang mana, mana?”
“ih yang itu ganteng”
“ih coba liat ada banci… wakakakakakakaka”
“idih buncit…”
“udahlah pulang aja yuk”
“yuk bang cepat masuk”
Begituklah kata-kata yang berseliweran, tak tahu siapa yang bersuara, hanya ramai remaja saja di sekitarku.
Ku tegakkan kepala mendekati pintu masuk Rumah adat itu, kulihat laki-laki besar berkata “antri-antri, yang tertib, jaga barang berharga”
“jaga barang berharga” ulangku… kuhanya senyum-senyum,
kulihat didepanku pemuda memegang bahu pemudi yang ayu, “itukah barang berharga baginya” gumamku sendiri,
lihat ke kiri seorang wanita sebaya memegang erat tasnya, “itukah barang berharganya?” gumamku lagi.
Lantas aku melihat diriku sendiri, dan berdengung kalimat seruan “jaga barang berharga anda” langsung saja ku tutupi bagian depan tubuhku dengan tas yang kujinjing. Aku pun tersenyum geli sendiri,
“mau masuk saja bisa ada cerita begini” helaku setalah masuk.
Senyumku dari geli itu pudar ketika melihatnya, “oh tidak,” eluhku sembari menutupi muka dengan tangan kanan sendiri.
“ohw disini rupanya” sapanya
Aku terus saja jalan berusaha untuk melihat pentas di depan. Sungguh festival. Tempatku berdiri membuatku tak leluasa untuk memantau apa yang di tampilkan didepan sana. Dan sepertinya dia tahu gelisahku.
“yuk ikut aku kita kedepan” tukasnya.
Aku hanya mengkerutkan kening yang kukira itu bisa mewakili jawaban untuknya.
Saat di menunjukkan arah dengan berjalan duluan dariku maka aku mundur kebelakang, lantas dengan dengan sigap mengayunkan kaki ke arah yang berlaianan darinya. Dia kulihat menuju arah depan kanan. Maka aku ke kiri. Sekitar 5 meter dari panggung aku berdiri, kulihat sang pembawa acara
“bang cecep” ucapku lirih.
Guru teaterku dulu. Gelagatnya tak berubah. Tetap humoris dan kemampuan memadu-madankan kata yang tetap luarbiasa.
“yah kita tampilakan nyanyian beserta tarian khas dari para perempuan cantik” begitu kata MC perempuan yang tak kukenal.
Kulihat, ku tanyakan pada diriku sendiri “tergugah kah engkau Rara?” aku menggeleng.
“sudah tahu tidak menyukai musik, kenapa masih datang?” dailogku dalam hati
“karena tugas, bukankah engakau tahu sendiri” kilah Ruhku
“lha, kalo gitu harusnya kamu cari liputan yang membuatmu senang”
“masak,eeeeeehmmm.. kuliner khas melayu?”
“iya yah kenapa gak ngejar itu” kesalku sendiri. Ah sudahlah kita focus saja pada moment terakhir ini.
“Heiiiii” suara yang membubarkan dialogku sendiri.
“kok tadi gak ikut sih, tuh disana kosong” dia menunjuk kearah kanan panggung yang bagiku terlihat sama padatnya.
Aku diam karena bagiku itu tak perlu untuk dijawab.
“berikutnya adalah pemenang lomba biduan wanita terbaik” suara MC yang membuatku menatap panggung lebih serius.
Tak berapa lama keluarlah wanita, imut dengan pakean khas dayak. Ia menyanyi, entah lagu apa yang didendangkannya.
Aku terpaku ada wanita paruh baya yang duduk tak jauh dari ku berdiri, ia mempertemukan kedua telapak tanggannya dengan lembut. Mulutnya komat kamit mengikuti lafaz sang biduan. Matanya mencerminkan rasa senang yang tak terkira. Aku duga mungkin ibunya atau guru menyanyinya.
Lagu berakhir berganti dengan tepuk tangan yang meriah dari para penonton.
“kita lanjutkan dengan busana terbaik dari kota Singkawang, inilah dia para pragawan dan pragawati dari kota Singkawang” kurang lebih begitulah wanita berbaju merah didepan berkata.
Ku lihat lagi, baju teluk belanga, baju dayak, baju corak ingsang. Hanya tiga baju, begitu juga dengan yang pria.
“biase jak ye” si krudung hitam berkata pada sekelompok temannya.
“he’eh mamak aku punye tuh, telok belaga” yang lain menyahut
“telok belanga ke baju kurung?” yang berjaket bertanya
“saya numpang menyimak” izinku menyela dalam hati.
”he’eye ape bede?” yang lain ikut bingung sepertiku yang bingung juga.
“eh tapi cobe kau perhatikan ye, ngapelah baju itu tuh warnenye kuning, ngape tadak ijau, merah ke, ato ape keh? yang bertas selempang kali ini bersuara.
“mulai seru ni” responku dalam hati,
“ngape ye?” 1 diantra mereka bersuara menandakan mereka berfikir,
Ada yang serius menjawab “aku tahu, aku tahulah jawabannya” ia lanjutkan “ ituh tuh karna takdirlah, wahahahahahahahahahahaha” tawanya menutup jawabnya yang ngasal. Yang lain pun ikut tertawa dan aku pun juga jadi menahan tawa.
Setelah memperhatikan beberapa gaya yang dipertunjukkan untuk para penonton termasuk aku,
maka aku bertanya “kok gada biduan prianya ya?”
ku napak tilas, hem.. sepertinya pas aku aku masuk lelaki sedang bernyanyi disitu, iyakah tapi?
Kebingunganku hilang ketika sang pria berbaju kuning diatas panggung menyebutkan beberapa nama para pejabat teras, ada bupati sanggau, bupati singkawang dan bupati lainnya yang agak tak kuhiraukan karena telpon genggamku berbunyi,
“sms” kataku.
Kulihat 6 panggilan tak terjawab dan 11 sms,
Kulihat “Gadis Rizki Utami”
“ya ALLAH, ku alpakan dia, bukankah kami janji bertemu”
Ku coba telpon balik, suara tak jelas, ku matikan, ku lihat jam meunjukkan pukul 21.45 dan ku kirim pesan singkat yang berisikan “maaf ya Dis, kita miscom, ra juga uda mau pulang ni. Mendingan kita pulang aja yuk”
Aku pun pulang.
Akhir dari festival seni budaya melayu VI, majelis adat budaya melayu kalbar, MABMKB, mencapai cita memperteguh marwah bagiku adalah menyisakan Tanya,
“bedakah baju teluk belanga dengan baju kurung? Lantas kenapa baju khas melayu tersebut berwarna kuning (kebanyakan)?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar