Jumat, 28 Januari 2011

Kelelahan Berujung Manis

Oleh: Retno Wulandari
(NIM.F01109001)


Sore itu(17/10/2010) pukul 17.00 WIB Kota Pontianak diguyur hujan, aku sebel, kesel dan marah soalnya aku harus pergi ke Rumah Melayu. Tapi gimana mau berangkat kalau hujannya aja gak berhenti. Namun pada akhirnya tanpa menunggu hujan berhenti aku pun harus tetap berangkat menuju Rumah Melayu soalnya aku udah janjian sama kawan-kawanku untuk bertemu dan berangkat bareng didepan PCC pada pukul 19.30 WIB. Setelah pake mantel kok jadi kayak alien ya,,,,,hehehehehehheehheeh.... yach mau gimana lagi harus pakai mantel biar gak basah... brummmmmmmmmmmmmm aku pun melaju dengan kecepatan 40 Km/Jam menuju PCC. Saat sedang melaju tiba-tiba aku teringat pada sesuatu, dan saat aku mencoba mengingatnya,,,,,,Huwhhhhhhh tidakkkkkkkkkkkkk hati kecilku berteriak….. Motorku kan habis dicuci dan dipoles ehhhhhhh malah jadi kotor lagi dong gara-gara dibawa saat jalanan terkena hujan. Motorku jadi luluran pasir dech jadinya....

Setelah 15 menit menempuh perjalanan akhirnya sampai juga di depan PCC, tapi temen-temenku kok belum ada ya………….. daripada menunggu gak jelas aku pun menelfon Esti. Tut….tut…..tut…….tut…..terdengar suara yang menandakan kalau telfonku sudah masuk, dan kemudian terdengar suara dari ujung telfon “hallo, assalamualaikum,..”kata itu yang terdengar dari ujung sana yang tak lain adalah suara milik esti, “ia waalaikumsallam” jawabku…… “esti udah sampe mana” tanyaku.. “ini udah mau jalan no, eno ada dimana????” jawab esti seraya bertanya kepadaku, “ohhhh eno udah sampe di depan PCC nich, hujan-hujanan pake mantel warna biru” jawabku dengan sedikit rasa kesal karna aku harus menunggu lagi, “ya udah eno tunggu ya bentar lagi Esti nyampe” jawaban Esti membuatku sedikit tenang……Tapi tetap saja aku masih harus menunggu teman-temanku. Brummmmmmm tit……. Terdengar suara motor berhenti tepat dibelakang motorku, dan
tiba-tiba terdengar suara yang memanggil namaku, “eno!!!!!!!!!!!!!!!” setelah aku menoleh kebelakang ternyata itu suara Esti. Dan ternyata Esti datang bersama Aya dan Sri. Tapi ada yang aneh dari penampilan teman-temanku soalnya hanya Esti yang memakai mantel sementara Aya dan Sri tidak memakai. Sempat terlintas dibenakku “ya ampun apa gak dingin kok gak pakai mantel”. Tanpa pikit panjang kemudian kami pun berangkat menuju Rumah Melayu bersama-sama dengan menggunakan tiga motor.
“Aduh”……………gumamku saat dalam perjalanan, aku terkejut soalnya aku hampir saja menabrak mobil yang tiba-tiba berhenti tepat didepanku, tapi untunglah aku masih bisa menghindar dan melanjutkan perjalanan lagi. Aku terus melaju menyusuri jalanan yang basah karna perjalananku di iringi dengan air hujan yang masih saja setia menemani. Setelah sampai di depan Rumah Melayu kami berniat memarkirkan motor ditepi jalan tepat di depan Rumah Melayu. Tapi tiba-tiba seorang tukang parkir bilang “jangan parkir disini, parkir di BPS aja sana”…. Dengan sedikit kekesalan aku bersama kawan-kawan pun memutar motor dan menuju parkiran yang dimaksud oleh tukang parkir tadi, sesampainya di parkiran ternyata sudah banyak tukang parkir yang berjaga di tempat tersebut, sepertinya mereka tukang parkir yang sah karena mereka mengenakan tanda pengenal yang menunjukian kalau mereka merupakan panitia yang bertugas dibidang penjagaan motor, yah bahasa kerennya
adalah Tukang Parkir. Akhirnya kami pun memarkirkan motor, belum saja sempat turun dari motor aku sudah mendengar celotehan dari beberapa Tukang Parkir, “ enak kan dek parkir disini? Jadi motornya gak kena hujan, tenang dek gak akan hilang kok motornya,” begitulah ucapan para Tukang Parkir itu, tapi aku dan kawan-kawan tidak memperdulikan mereka, soalnya masing-masing sedang sibuk merapikan diri dan melepas mantel agar bisa masuk kekawasan Rumah Melayu terlihat lebih menarik..hehehehheheehe… lagi-lagi terdengar celotehan dari bibir Tukang Parkir “ ni dek no parkirnya! Bayarnya Rp2000,00 aja kok” Tukang parkir tersebut menghampiriku dan menyerahkan secarik kertas yang bertuliskan No Parkir, “kok mahal amat sich Bang” protes dariku, “mana ada mahal dek, kan motornya aman dek” Tukang Parkir tersebut membela diri, “ohh gtu ya Bang, trus bayarnya sekarang kah Bang??” aku bertanya seolah-olah aku tidak tahu bahwa sedari tadi Tukang
Parkir tersebut menunggu uang yang ku berikan, “ya iyalah dek” hanya itu yang terucap dari bibir Tukang Parkir tersebut, mungkin ia usah sedikit kesal padaku yang meladeninya dengan candaan yang tidak bermutu. Aku pun membayar biaya parkir tersebut yang kemudian diikuti juga oleh teman-temanku.
Saat hendak berjalan memasuki kawasan Rumah Melayu aku bertanya pada teman-temanku “kalian Cuma bawa jaket satu doing kah? Soalnya aku gak pakai jaket nich, tar aku basah donk..” mukaku juga menunjukan penyesalan yang mendalam karena aku bisa-bisanya lupa tidak memakai jaket, kan hujannya udah dari tadi sebelum berangkat. “aduh gak ada no..” jawab Esti. “aya juga gak ada no, Cuma ini aja yang dipakai” Aya ikut menimpali, sedangkan Sri hanya tersenyum, tanpa keluar kata-kata dari mulutnya tapi aku sudah mengerti kalau ia tak memiliki jaket lain kecuali yang dipakai olehnya. “ ya udahlah kalau gak ada, ayo kita masuk nanti keburu malam,” ajak ku kepada teman-temanku. Kemudian kami pun berjalan menuju Rumah Melayu dengan di iringi oleh rinai hujan.
Sesampainya didepan gerbang kami mendapati gerbangnya tertutup, sontak saja jantungku berdegup dengan kencang, aku sempat khawatir jangan-jangan kami semua tidak bisa masuk, padahal sudah berjuang keras untuk bisa sampai di Rumah Melayu. Aku pun bertanya kepada seseorang yang sedang berdiri didepan gerbang, “Bang kok ditutup? Kami mau masuk ni Bang” dengan nada tanpa rasa bersalah orang tersebut bergumam”oh,,, kalian mau masuk kedalam ke?” ia pun kemudian bergegas membuka pintu gerbang. Aku baru sadar ternyata kami tadi hanya sedang digoda oleh tukang jaga gerbang. Ketika sudah masuk ke area Rumah Melayu, “ eh masa dari tadi kita digodain ama tukang parkir ya? Aneh-aneh aja” tanyaku kepada teman-teman, tapi mereka hanya tertawa tanpa memberikan jawaban. Kemudian Aku bersama teman-teman berjalan menyusuri suasana malam di Rumah Melayu di iringi oleh rinai hujan yang tak kunjung berhenti, banyak stand yang menjual bunga-bunga yang disusun rapi
oleh pemikiknya, tapi ada yang aneh pada bunga yang mereka jual, karena bunga yang berwarna-warni tersebut ternyata hanyalah hiasan semata yang sengaja dipasang oleh sang pemilik bunga agar bunga yang ia jual terlihat lebih indah. Hal itu membuatku merasa geli sekaligus lucu. Aku bahkan sempat bertanya kepada Sri “sri liat lah bunga nya tu, masa pake bunga palsu” “hahahahahaaha lucu tapi no” jawab Sri singkat, tanpa memperdulikan keberadaan orang lain kami tertawa bersama. Wah ternyata asyik juga ya walaupun rinai hujan masih membasahi, tapi masih belum lengkap kebahagian yang aku rasakan karena sahabat ku tidak lengkap.
Saat sedang asyik menyusuri stand yang ada di Rumah Melayu tiba-tiba ada segerombolan anak-anak yang berlarian seraya berteriak “ Debu udah datang, Debu datang” sontak saja hal itu membuat kami berempat bertatap muka menunjukkan perasaan terkejut. “ ayo kita kesana” aku mengajak teman-teman untuk mengikuti anak-anak yang berteriak tadi. Aku melihat ada mobil polisi parkir didepan sebuah Pendopo, sepertinya anak-anak tadi tidak berbohong dan Pendopo tersebut juga dipenuhi kursi-kursi merah yang tertata rapid an sebagian besar sudah diisi oleh para penonton yang ingin menonton Debu.Kami pun berjalan menuju Pendopo yang sudah disediakan para panitia, kami pun duduk di kursi Pendopo seakan-akan kami ini tamu penting. Aku bahkan masih tak percaya kalau ternyata bisa melihat Artis sekelas Debu. Saat tengah asyik mengobrol tiba-tiba ada orang yang mengajak kenalan, dan sebuah perkenalan pun terjadi antara aku, teman-te,anku dan orang asing tersebut.
Tidak lama kemudian temenku yang bernama Fitra datang menyusul, ternyata ia datang karena sudah janjian sama Sri. Kebetulan Fitra bawa camera digital jadi kami foto-foto, tapi kecewa karena batrainya tiba-tiba habis, kemudian kami memutuskan hanya menggunakan camera HP saja.
Tidak lama kemudian Debu memulai aksinya. Aku bersama teman-teman kemudian ikut berdesak-desakan bersama para penonton lainnya untuk menyaksikan penampilan Debu secara langsung. Aku masih merasa tak percaya malam ini bisa melihat Debu secara langsung bersama para sahabatku. Perasaan bangga menyelimuti benak ku, bangaimana tidak bisa menyaksikan artis sekelas Debu adalah sesuatu yang sangat istimewa bagiku. aku pun juga tidak lupa mengabadikan penampilan Debu menggunakan camera HP milik ku. Aku bersama teman-teman juga sempat berfoto ria tanpa perduli apa yang dibicarakan orang disekeliling yang melihat kami dengan tatapan aneh. Namun aku hanya bisa menyaksikan penampilan Debu sebentar saja, karena waktu sudah menunjukan pukul 21.00 WIB. Jadi kami pun pulang dengan perasaan bangga. Malam yang indah, walau penuh penderitaan tapi berujung kebahagiaan.
Selengkapnya...

Rabu, 19 Januari 2011

Sampan Bidar di Bumi Khatulistiwa

Oleh: Fitri Anggriani
(NIM.F01109059)

Sabtu 18 desember 2010 sekitar pukul 09.00 Wib aku bermaksud mengunjungi rumah Adat Melayu Kalimantan Barat untuk meliput kegiatan perlombaan yang diadakan oleh Majelis Adat Budaya Melayu dengan nama Festival Seni dan Budaya Melayu VI dalam rangka memperingati dies natalis Majelis Budaya Adat Melayu Daerah Kalimantan Barat.
Kegiatan yang dimulai tanggal 13 desember dan berakhir tanggal 18 desember 2010 ini diikuti oleh seluruh Majelis Adat Budaya Melayu Cabang (MABM) yang berpangkalan di kabupaten yang tersebar di seluruh penjuru Kalimantan Barat kecuali Majelis Adat Budaya Melayu Kabupaten Sekadau. Peserta yang terdiri dari 13 kontingen tersebut mengikuti berbagai macam perlombaan yang berbau seni dan budaya Kalimantan Barat itu sendiri.
Adapun berbagai macam perlombaan itu antara lain Lomba syair gulung, Lomba betutor, Lomba lagu daerah melayu dan lain – lain sampai dengan yang terakhir adalah lomba sampan bidar yang diadakan di sungai Kapuas tepatnya di depan Keraton Kadariah Pontianak sebagai garis start. Dengan jarak sekitar 1 kilometer.
Lomba sampan ini ternyata cukup menarik antusiasme dari warga sekitar. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penonton yang memenuhi “geretak” dan banyak pula penonton yang menggunakan sampan yang berjejer dibawah tol landak untuk menyaksikan perlombaan. Sesaat kemudian panggung tempat berteduhnya para juri hampir roboh karena banyaknya penonton yang lumayan banyak berada disebelah kanan panggung. Namun hal itu masih dapat dihindari dengan himbauan dari sang operator.

Pengamanan pun diperketat dengan bantuan Tim SAR, KPLP, dan satuan kepolisian dari Polda Kalimantan Barat sendiri. Pengamanan yang dilakukan tidak hanya diair dan tempat – tempat dekat panggung saja namun juga dari atas tol landakpun ikut diamankan. Karena pendukung dari masing – masing kontingen MABM ini pun sangat antusias dalam memberikan dukungan bagi tim kesayangan sehingga membuat suasana cukup ramai dengan teriakan dan tepuk tangan dari penonton.
Sesekali terdengar pekik sorak dari penonton yantg menyemangati tim unggulan mereka. Sempat terdengar oleh ku dua orang bapak – bapak berbincang – bincang memngomentari pertandingan yang sedang berlangsung.
“coba saja tim yang memakai kostum merah itu agak lebih cepat dan ketengah sedikit, pasti lah dia yang akan jadi pemenang” ucap bapak yang berbaju abu – abu.
“ya benar, sayangnya sang pengemudi salah mengambil alur” jawab bapak yang berbaju coklat tadi.
“yaps,,,benar sekali. Tapi juga tergantung dari start masing – masing sampan” timpal bapak berbaju abu – abu itu.
Perlombaan ini disusun dengan sistematis. Susunan yang ada yaitu berdasarkan dari undian masing – masing Majelis Adat Budaya Melayu Cabang. Adapun skema dari pertandingan sampan bidar tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kabupaten Ketapang

2. Kota Singkawang


3. Kabupaten Sintang

4. Kabupaten Kayong Utara


5. Kota Pontianak

6. Kabupaten Kubu Raya


7. Kabupaten Landak

8. Kabupaten Pontianak


9. Kabupaten Sanggau

10. Kabupaten Kapuas Hulu


11. Kabupaten Bengkayang

12. Kabupaten Sambas


13. Kabupaten Melawi


Adapun system dari perlombaan ini menggunakan system gugur dengan putaran pertama dan kedua kemudian final. Pada putaran pertama diperlombakan dua atau tiga kontingen dengan race – race yang berbeda. Kemudian pemenang dari putaran peretama ini akan diikut sertakan dalam putaran kedua dengan race – race yang berbeda pula. Dan kontingen yang melaju pada putaran kedua adalah :
 Kota Singkawang
 Kabupaten Kayong Utara
 Kota Pontianak
 Kabupaten Pontianak
 Kabupaten Sanggau
 Kabupaten Sambas
 Kabupaten Melawi

Namun pada Putaran kedua disini terjadi sedikit konflik antara Kota Pontianak dan Kabupaten Pontianak. Dalam hal ini kontingen Kabupaten Pontianak mengajukan protes keberatan kepada dewan juri karena jalur start yang terlalu ditepi. Perdebatan ini akhirnya diselesaikan dengan cara musyawarah melalui penjelasan – penjelasan dari juru lintas,official, juru perahu dari kedua belah pihak yang berseteru dan satu orang juru bantu dari masing – masing pihak dihadapan juri. Dan hal ini tetap saja dimenangkan oleh Kota Pontianak.
“Dalam pertandingan ini kita harus junjung tinggi sportifitas bertanding. Karena dengan demikian secara tidak langsung akan membentuk karaktek budaya daerah kita,” komentar salah seorang juri dalam perlombaan ini.
Kemudian disisihkan lagi menjadi 3 peserta dan menyisakan Kabupaten Kayong Utara, Kota Pontianak dan Kabupaten Sambas untuk memperebutkan juara satu, dua dan tiga di putaran final.
Pertarungan dayung mendayung ini sungguh sangat sengit. Banyak kontingen yang gugur dengan jarak 1 km. Disini dituntut kecepatan dan kekuatan serta kekompakan para pendayung dalam mengendalikan sampan agar sampai kegaris finish dengan cepat. Dan terbukti dari beberapa putaran yang telah dilewati, kontingen Kabupaten Kayong Utara dapat melibas habis ke – 12 kontingen lain.
Hasil akhir membuktikan bahwa Kabupaten Kayong Utara sebagai pemenang pertama, disusul dengan Kota Pontianak sebagai juara tengah dan yang terakhir Kabupaten Sambas dengan juara ketiga. Tidak sampai disitu, juara harapan satu jatuh pada Kabupaten Melawi, harapan dua disabet oleh Kota Singkawang dan harapan ketiga jatuh pada Kabupaten Sanggau.
Gemuruh tepuk tangan dan sorak sorai penonton dan pendukung kabupaten Kayong Utara menyambut hangat kedatangan sang juara sampan bidar kali ini. Tersungging senyum yang lebar dari sang official kabupaten yang menjadi juara kali ini.
Disaat – saat terakhir perlombaan, Pak Harun Dasputra seorang peseni yang sudah melanglangbuana didunia kesenian mengungkapkan sedikit harapan kepada generasi muda Kalimantan Barat “jangan hanya berpangku tangan, kita harus terus menggali potensi budaya yang ada di Kalimantan Barat ini dan selalu berusaha untuk mengembangkan dan melestarikan seni dan budaya daerah kita”.

Menurut orang – orang yang aku temui, banyak hal positif dari diadakannya festival budaya melayu saat ini. Salah satunya adalah terbentuknya generasi muda yang mampu dan mau untuk melestarikan dan mengembangkan budaya melayu yang ada di Kalimantan Barat ini. Menguji jiwa sportifitas para generasi penerus bangsa. Salah satunya melalui lomba sampan bidar ini.

“Lomba sampan ini sangat disenangi oleh masyarakat. Selain sebagai pelestarian budaya melayu juga sebagai olahraga yang baik. Generasi penerus budaya Indonesia umumnya dan budaya Kalimanatan Barat khususnya harus mengetahui dan ikut melestarikan nya. Kalau tidak demikian siapa lagi, masa’ kami – kami yang sudah tua ini,” ucap salah seorang pedayung yang ku temui.

Sudah sewajarnya lah kita menghargai dan melestarikan budaya yang telah ada dari nenek moyang kita terdahulu. Dengan budaya lah kita hidup. Orang – orang yang paling hebat adalah yang menghargai budayanya.
Selengkapnya...

Festival Seni Budaya Melayu di Rumah Adat Melayu

Oleh: Nurul Wahidah
(NIM.F01109008)

16 Desember 2010 pukul 09:45
“Sini dek…sini dek...”
Riuh suara abang-abang parkir memanggil, dengan lambayan tanggannya yang sangat memaksa untuk menitipkan kendaraan milik kita kepadanya.
“Ga bang sana aja, kami pun lantas pergi meninggalkannya seolah tak tertarik dengan lambayan dari tanggan-tanggannya”.
“o..die nak ke BPS” sahut salah satu abang parkir yang kami lewati tadi.
Kami pun memutar, untuk singgah di kantor Badan Pusat Statistik. Motor-motor mungil kami pun berbaris indah di parkirannya, bak bala tentara berkuda yang siap menerjang musuh. Bukan maksud untuk menghindar dari abang-abang parkir namun memang ada keperluan di sana. Selesai urusan kami, kami pun bergegas ingin melihat keramaian yang ada di sebelah kantor yang kami singgahi.
“Plak.. plok..plak..plok.. alunan gemuruh dari langkah para wanita. Wanita perkasa lagi jelita itu yaa…pasti kami.
Dek..tolong dek, buka kan Ibu gerbang ni..”ape jak tukang parkir ni, bukan ga’ kite ni tak bayar” sambil ngedumeh seorang Ibu pengisi salah satu stand di Rumah Adat Melayu.
Sreeetttt gerbang pun saya dorong seolah-olah menjadi pahlawan di siang hari dengan panas terik yang menyengat kulit.
“Haaa makaseh dek ye” sahut ibu itu.
“O,iya bu sama-sama”sahut kami kompak dengan nada ramah dan senyum yang mekar lagi mempesona bak bunga di Taman Anggrek.
Setelah melewati gerbang, kami langsung menuju ke Rumah Adat. Baru saja menaiki beberapa anak tangga, kami sudah di lirik oleh petugas yang menjaga di sana.
“Oh pakaian kite salah kali neh”

” Haa..mungkin ga’ lah, cam mane lah kite nak masok kalo cam gini nih”
“Atau ga’ hanye undangan resmi yak yang boleh masok situ’ kayak e lah,alaaa eh cam mane lah”
Dari hasil percakapan kami di anak tangga yang ke lima, kami pun memurungkan niat untuk masuk ke dalamnya.
“Dah lah, kite mutar-mutar sine’ jak liat stand-stand yang ade”
“Aok lah mau cam mane age dari pade balek dengan hampa, bagos kite cari yang laen buat jadi bahan berite tugas Bapak tu” , sekalian gak cuci mate me makan angin.
Akhirnya kami memutuskan untuk mengelilingi Rumah Adat yang diramaikan dengan stand-stand. Bagaikan tawaf saat Haji, kami pun mengelilingi satu persatu stand yang ada.
Di sebelah kanan dari arah masuk, terlihat bunga-bunga indah yang memancarkan aura kesejukan bila dipandang. Dari sebelah kiri terlihat pula keramain beberapa orang lelaki yang mengelilingi sebuah motor unik, motor itu bagai primadona yang dikelilingi para pria.
“Oke,jadi kite nak ke sebelah mane lok?”
“Liat bunge yak lok yok, woi” jawab salah seorang teman.
Berjalan melihat-melihat bunga yang indah sungguh menyenangkan, setidaknya menyegarkan mata bagi pengagum bunga. Bunga yang dipamerkan pun tidak biasa bisa dibilang lumayan luar biasa,tidak kalah hebohnya dengan pameran bunga disana juga banyak terdapat bunga walau tidak sebanyak yang ada di pameran bunga tentunya. Ada bunga kaktus, angrek, bongsai, dan banyak jenis lainnya dengan berbagai ukuran.
“Alaaa…cantek woi, ih pengen aku beli kan to emak aku nih” sahut seorang teman yang teringat akan kesukaan Ibunya.
Tidak heran setiap anak yang liat ke stand bunga tersebut akan berkata “waw keren” dan berpikir sama, berpikir untuk memilikinya. Tidak heran juga bila seorang Ibu akan berada berjam-jam disana hanya untuk memperhatikan bunga-bunga yang sangat menggodanya dengan penuh harapan untuk memilikinya. Tidak hanya kaum hawa saja yang terpaku melihat kecantikan bunga-bunga itu, namun para kaum adam juga ada yang mengincarnya.
Tidak ada niat untuk mengeluarkan uang, kami pun berlalu meninggalkan bunga-bunga itu. Melanjutkan perjalanan menuju stand selanjutnya,yaitu stand makan. Kami menyebutnya stand makanan karena didalamnya terdapat banyak jajanan makanan.
“Ih ade kerak telor..ih pengen,yok beli yok”
“belom buka, orang e yak taka de”
“nanti malam kayak e baru ade”
“aok..keawalan be kite nih, banyak gak yang belom buka tuh”
“Oke…” saya pun mengurungkan niat untuk mengganjal perut dengan sebungkus kerak telor.
“Rupenye ndak gak makanan semue woi, ade gak yang jualan bros” sahut seorang teman yang membuyarkan hayalanku untuk memakan kerak telor.
“Ih iye..liat yok”
“yoookkk” sahut serentak dengan semangat mengebuh bak orasi di depan bundaran UNTAN untuk kasus korupsi. Maklumlah para wanita akan semangat bila mendegar pernak-pernik wanita, bagaikan banteng yang ingin menyeruduk kain merah matadornya.
Stand yang satu tidak menarik, lanjut ke stand slanjutnya, tidak ada yang menarik lagi lanjut ke stand selanjutnya akhirnya kami putuskan untuk keluar dari satand-stand yang tepat berada di bawah gedung tersebut.
Sorot mata yang tajam bak pisau daging dirumah, mata kami pun tertuju melihat sebuah stand.
“toowewew…” seolah ada intro music ketika itu.Dengan mata yang masih terbuka lebar.
Ternyata ada sebuah stand yang membuka untuk dalaman para wanita. Tak heran jika stand ini dimonopli oleh anak perempuan, anak dewasa perempuan, orang dewasa perempuan, orang tua perempuan dan yang terakhir orang lanjut usia perempuan. Menarik sekali ada sebuah stand yang membuka khusus dalaman wanita. Yaa..cukup menghibur untuk para kaum hawa. Sayangnya kami belum siap untuk merogoh kocek. Kami pun hanya singgah sebentar lalu pergi meninggalkannya.
“oke lanjut woi” sahut seorang teman seolah tak kenal lelah.
Stand itu pun kami lewati, selanjutnya ada stand yang menjual sepatu dan sandal. Begitu pula dengan stand-stand sebelumnya. Kami hanya singgah kemudian berlalu.sebelum hendak beranjak dari tempat itu terlihat seorang teman sedang repot mengurusi paku-paku yang bececeran di samping box sepatu.
“Cepat lah ayak” kebetulan namanya soraya singkatnya dipanggil ayak.
“tunggu lok aku bereskan paku na, hamper yak aku kena”
Usai menyingkirkannya kami pun berkata ke pada penjaga stand.
“Pak, ade paku tah bececer di bawah”
“o..iye dek”sahut penjaga itu.
Sepertinya tak ada yang menarik lagi di sekitar itu, kami pun pindah haluan ke stand-stand yang ada di sebelah pojok kiri dari rumah adat melayu. Tak lama ketika itu sebuah pesan singkat pun mendarat kepada saya.“Nung, kame pulang duluan ye sama Maya. Kame mau cari buku Perpajakan di Mall” isi dari pesan singkat itu.”okeh..hati-hati” balasku kepada Wulan dan Maya yang sebelumnya ikut dalam pasukan sebelumnya. Kami pun tinggal berenam, namun tidak memeatahkan semangat kami.
Selanjutnya kami masuk ke stand daerah. Disana terdapat berbagai daerah yang ada di Kalimantan Barat dengan kerajinan tangan dari daerahnya masing-masing. Namun banyak daerah-daerah yang tak tampak di stand-stand tersebut, sebagai contoh stand dari Kabupaten Sintang. Cukup pada hari itu kami pun memutuskan untuk kembali ke kampus.

18 Desember 2010 pukul 19:50
Tit…tit..tit..
Suara klakson meramaikan suasana malam minggu itu.
Muda-mudi sibuk dengan gaya alaynya. Bedak tebal, mengalahkan cat dinding rumah. Parfum menyerbak harum mewangi menyumbat hidung. Baju meriah, bak rstu semalam. Tapi ada pula dengan gaya santai kayak di pantai, ada pula gaya cuek kayak bebek, dan berbagai gaya masing-masing. Kota Pontianak bak di banjiri manusia dengan kendaraannya ketika itu. Dan saya rasa setiap hampir malam minggu terjadi hal yang sama terkecuali hujan mengguyur. Walaupun ramai, saya dan Woro tidak membatalkan untuk menonton Festival Seni Budaya Melayu.
Begitu sampai di Jalan Sultan Syahrir Abdurrahman, kendaraan-kendaraan yang hendak singgah ke rumah adat melayu cukup ramai juga. Terasa padad merakyat, kami pun terasa tertatih-tatih untuk sampai ke tempat tujuan yaitu Rumah Adat Melayu. Ketika sudah sampai dan dan hendak membanting stir ke kanan untuk masuk ke sana kami pun dilarang oleh seorang polisi, kami disuruh untuk memutar bundaran dulu baru bisa parkir. Dengan mengindahkan perkataan Pak polisi itu, kami pun lurus kemudian memutar bundaran. Sebelum sampai ke tempat tujuan kami pun dikejutkan dengan suara meriam yang tak jauh dari Rumah Adat itu.
“BUUARRR” dahsyatnya letupan itu
“huaaa…teriak saya dan Woro serempak”
“baleee… aku kaget nung”sahut Woro
“aku juga..sameee” histerisnya kami berdua.
Sambil menenangkan diri di jalan, kami pun sampai di tempat tujuan.
“Bayar parkir dulu mba, dua ribu” sahut tukang parkir di depan kami.
Setelah membayar parkir kami meletakkan motor yang diparkirkan di Badan Pusat Statistik. Jika dipikir hari sebelumnya kami gratis tapi malam ini kami harus membayar. Mungkin saja karena malam hari, jadi tidak ada aktifitas di BPS lagi sehingga mereka menggunakannya untuk lahan parkir. Tanpa memperpanjang masalah parkir kami pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju FSBM. Di gerbang masuk, telah menunggu gadis imut yaitu Rayesti. Yang sebelumnya telah janjian untuk pergi bersama, namun dia telah sampai di tempat tujuan terlebih dahulu.
Tanpa basa-basi kami bersama-sama berjalan beriringan bagai sepasangan orang tua dan seorang anaknya. Seolah dua tahun tidak ketemu kami pun berbincang hangat dan saling bersenda gurau. Karena sebelumnya kami telah melihat-lihat stand yang ada di sekeliling, kami memutuskan untuk langsung naik ke Rumah Adat untuk melihat acara yang ada. Namun belum sampai di pintu masuk menghentikan langkah. Kami pandangi setiap orang yang masuk. Setiap orang yang masuk harus memperlihatkan undangannya.
“oh ternyate hanya orang yang punye undangan yak yang boleh masok”
“Ha’a Nampak nye tuh”
“dah lah ke bawah yak kite mutar-mutar”
Sekarang pemandangannya sungguh berbeda, mungkin karena kemarin kami pergi masih pagi ataupun karena ini penutupan jadi banyak pengunjung yang datang. Banyak stand yang kemaren tutup sekarang telah dipadati pengunjung. Kami pun melangkah ke stand dari setiap kabupaten di Kalimantan Barat. Panggung yang kemaren sepi tak di isi para penghibur, kini tampak alunan music khas melayu berdendang dari atas panggung tersebut. Sungguh nikmat dipandang, mereka menggunakan pakaian adat melayu, sungguh sedap di dengar alunan musiknya.
“Kemaren ade debu” sahut Rayesti
Wah betapa irinya rasa hati mendengar ada Debu “sebuah kelompok musik islami” datang ke acara tersebut. Saying sekali kami tidak dapat melihatnya, tapi terbayar dengan music melayu yang ada di depan kami. Karena ramai, kami pun hanya bisa melihat dari kejauhan, dan sebagian lagi terlihat kepala-kepala orang berdiri tegak yang berada di depan kami. Walau pun perlu mengangkat kaki untuk melihatnya tapi lumyanlah dari pada tidak sama sekali. Sungguh hiburan yang menyenangkan. Tidak hanya kami saja yang merasa senang, penonton lain pun juga merasa terhibur.
Di luar stand ternyata terdapat TV super besar, yah bisa dikata layar tancap. Ternyata yang tergambar di layar tersebut adalah rangkaian acara yang ada di dalam gedung. Ternyata panitia sudah menyiapkan bagi mereka yang tidak mempunyai undangan resmi sehingga dapat menontonnya di luar gedung. Tapi sayang seribu kali sayang, layar yang begitu megah itu tak terdegar suaranya bak berpantomim di layar kaca.
Tak hanya menghabiskan waktu di situ saja, kami pun masuk ke bawah gedung yang berisi banyak jajanan makanan. Hari ini sungguh pembalasan hari kemarin yang kami tidak sempat mencicipi kerak telor.
“eh tuh ade kerak telor”
“eh iye ade, berarti kemaren gare-gare masih pagi mungkin die belom buka kali”
“ha’a kali y’ yok lah kite cobe”
Kami pun seolah-olah dihipnotis dengan cara pembuatannya, seolah-olah ingin belajar memasaknya.
“ada telur bebek ada telur ayam, mau pake telur yang mana mba? Telur ayam sepuluh rebu, telur bebek dua belas rebu? Tanya penjual kepada kami.
“ih ndak ah pake telur bebek” sahut Saya dan Rayesti
“enak be woi, cobe kitak rasa” sahut woro
Begitu lah terjadi adu telur ayam atau bebek diantara kami. Akhirnya kami putuskan untuk memakai telur ayam. Karena kami berdua memilih telur ayam, sedangkan Woro hanya sendiri memilih telur bebek.
“yeee…dua lawan satu menang dua”
“iye lah” sahut Woro
Karena ramai yang memasan kami pun mendapat giliran ke tiga setelah ibu-ibu sebelumnya dari kami. Karena tak ingin menunggu terlalu lama, kami pun berinisiatif untuk berjalan-jalan terlebih dahulu baru kemudian mengambil pesanan kami. Tak jauh dari tempat itu kami banyak bertemu senior-senior kami dan kawan-kawan lainnya, bak reunian akbar. Tak lama kami berbincang, kami teringat akan pesanan kami tadi. Setelah jadi, kami pun langsung menyantapnya, yang sebelumnya sibuk mencari tempat makan yang enak tidak menganggu lalu lintas jalan dan tidak dipandang orang ramai. Akhirnya kami memutuskan untuk menyantapnya di belakang mobil tepatnya di depan layar tancap tersebut.
“waw fantastic, boombastik, yummy, yahud “ kehebohan kami menyantapnya
Sebungkus kerak telorpun habis kami makan bertiga. Sudah kenyang waktunya kami pulang.sepertinya sudah tidk ada yang ingin dilihat lagi karena keramaian. Akhirnya kami putuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Woro bersama saya pulang bergoncengan, dan Rayesti pulang sendiri. Kami pun pissah di lampu merah, dan pulang ke rumah masing-masing.
Selengkapnya...

Selasa, 11 Januari 2011

Perjalanan di Festival Budaya Melayu Kalbar VI

Oleh: Aris Valentino
(NIM.F01109017)

Tanggal 16 desember 2010, sekitar pukul 10.00, aku dan beberapa orang temanku pergi berkunjung ke rumah adat melayu dalam rangka acara Festival budaya Melayu Kalimantan barat yang ke VI. Acara ini dilaksanakan dirumah adat melayu Pontianak yang dimulai dari tanggal 13 sampai dengan 18 desember 2010. Acara ini dilaksanakan oleh Majelis adat budaya Melayu Kalimantan barat dalam rangka meningkatkan hubungan silahturahmi suku melayu yang ada di Kalimantan barat.
Siang itu setelah mengikuti matakuliah Bahasa Indonesia, aku dan beberapa orang temanku mendapat tugas dari Dosen untuk melihat apa saja yang ada di dalam festival seni budaya melayu tersebut. Aku dan beberapa orang temanku pun pergi ke festival budaya tersebut untuk melihat apa-apa saja yang ada di acara tersebut. Sepanjang jalan mulai dari gedung PCC sampai rumah adat melayu, jalan sudah dipenuhi banyak orang. Dipingir-pinggir jalan banyak sekali hiasan-hiasan yang berbau dengan etnis melayu. Sekitar jam setengah sebelas atau tepatnya pukul 10.53 aku dan teman-temanku pun sampai disana. Ketika sudah mulai mendekati rumah adat melayu tersebut suara-suara musik yang sangat khas dan kental seperti gendang, seruling dan rebana dari suku melayu mulai terasa. Saking asyiknya menikmati alunan musik tersebut, sampai-sampai aku tidak menyadari ada orang yang berteriak kepadaku,” bang parkirnya jangan disitu, tetapi diujung sana”. Sontak saja aku sangat kaget dan menoleh kepada orang tersebut sambil berkata kepadanya,” oh iya, maaf bang”, sambil menyeret motorku kearah parkiran. Setelah aku memarkirkan motorku di tempat parkiran, orang itu berkata kepadaku,” bang ongkos parkirnye due ribu jak ye”, dengan logat melayunya yang khas. Aku pun membayar ongkos parkir tersebut dan mendapat karcis untuk masuk sekaligus untuk bukti pembayaran yang dikembalikan jika ingin pergi dari tempat tersebut.

Aku pun dan teman-temanku bergegas untuk masuk dan melihat-lihat apa saja yang ada dalam acara tersebut. Ketika memasuki halaman rumah adat tersebut hanya satu kata yang bisa kuucapkan, “fantastis”. Untuk pertama kalinya seumur hidupku, baru kali ini aku memasuki rumah adat melayu. Yang kulihat disana adalah orang-orang yang sibuk dengan akitifitasnya masing-masing. Ada yang sedang tawar menawar dengan para penjula yang mendirikan stand-stand disana. Ketika memasuki halaman rumah adat tersebut aku dan teman-temanku dilihat oleh banyak orang. Mungkin melihat cara berpakaian kami yang memang pada saat itu berpenampilan menjadi seorang mahasiswa. Jika aku menebak apa yang ada dalam pikiran mereka, mungkin mereka berpikir apa yang akan dilakukan olah mahasiswa ditempat seperti ini. Dilihat orang seperti itu membuatku sedikit menjadi malu, tetapi aku tetap percaya diri untuk tetap dan masuk ditempat tersebut. Setelah berkeliling sebentar didepan rumah adat melayu tersebut aku pun bertanya kepada teman-temanku,” mau kemana lagi kita?”. Temanku pun menyarankan untuk naik keatas rumah adat melayu tersebut untuk melihat-lihat siapa tahu ada yang bisa kami dapatkan disana. Sama halnya dengan saat akan memasuki halaman rumah adat tersebut, ketika akan naik ke atas melewati tangga dirumah adat tersebut, untuk kedua kalinya kami pun dilihat oleh banyak orang dan yang kali ini aku sangat lebih malu dari yang pertama karena yang melihat kami adalah orang-orang yang seperti mempunyai jabatan yang sangat tinggi seperti kaum keturunan keraton. Salah. Sebenarnya aku sangat malu untuk naik keatas karena kami tidak tahu apakah kami boleh untuk dapat naik keatas karena yang kulihat orang-orang yang ada disana adalah sperti orang-orang keturunan keraton sedangkan kami hanya seorang mahasiswa. Tetapi salah seorang temanku berkata kepadaku,” tidak apa-apa, kitakan hanya ingin melihat-lihat saja”. Sedikit keberanian mulai kurasakan ketika temanku berkata seperti itu dan aku pun tetap naik keatas untuk mencari tahu apa-apa saja yang ada diatas atau didalam rumah adat melayu tersebut.
Sesampainya diatas, aku dan teman-temanku pun langsung menemui petugas atau panitia acara yang ada disana. Mereka pun bertanya tentang apa tujuan kedatangan kami kesini. Salah seorang temanku pun menjelaskan bahwa kami disini ingin melihat-lihat pemeran dan apa-apa saja acara yang ditampilkan disini. Aku dan teman-temanku pun juga menjelaskan asal kami yang berasal dari Untan fakultas keguruan dan ilmu pendidikan program studi ekonomi dan kami datang ke sini untuk melihat apa-apa saja kegiatan yang dilakasanakan disini dan ini kami jadikan sebagai data untuk kepentingan kuliah. Petugas pun mengizinkan kami melihat-lihat diatas keraton tersebut. Ketika kami melihat kedalam ada suatu seminar yang sedang berlangsung disana. Aku pun sangat penasaran apa yang dibahas dalam seminar tersebut. Aku pun mangajak teman-temanku untuk mencoba bertanya kepada petugas yang ada disitu apakah kami dapat ikut serta dalam seminar tersebut. Setelah berunding sejenak dengan petugas disitu akhirnya kami pun diizinkan untuk masuk. Sebenarnya hanya orang-orang tertentu dan tamu-tamu saja yang boleh diizinkan untuk masuk diseminar tersebut. Tetapi setelah mengetahui asal kami dari Untan dan kepentingan kami adalah untuk mencari informasi untuk kuliah kami pun diizinkan untuk masuk kedalam seminar tersebut. Sebelum kami masuk kedalam, kami terlebih dahulu harus mengisi daftar buku tamu yang telah disediakan. Setelah aku dan teman-temanku mengisi daftar tersebut, kami masuk kedalam ruangan tersebut. letak ruangan tersebut tepat ditengan-tengah keraton dan pintu masuknya sejajar tepat dengan tangga untuk naik keatas keraton tersebut. nama ruangan tersebut atau nama ruangan tempat seminar tersebut adalah Balairungsari.
Ketika memasuki ruangan tersebut aku sangat terpesona dengan isi didalam ruangan tersebut. ruangan yang ditata dengan sedemikian rupa tersebut sangatlah luar biasa. Motif bunga yang menjadi ciri khas dari suku melayu terukir dengan indahnya dilangit-langit ruangan tersebut. belum lagi dengan warna kuning yang menjadi simbol utama dari suku melayu didalam keraton tersebut semakin memperkental suasana keraton diruangan tersebut. dari kejauhan tampak enam orang duduk didepan yang memimpin jalannya seminar. Pakaian yang mereka pakai menggunakan pakaian adat suku melayu. Semua itu menambah semakin terasanya suasana didalam keraton tersebut dan semua itu mengingatkan kukembali seperti berada kembali dijaman Kerajaan seperti dahulu kala. Ketika kami masuk kedalam ruangan, seminar tersebut sudah dimulai dan aku kurang tahu apakah seminar tersebut sudah lama dimulai atau belum. Ketika kami masuk kami sedikit gugup karena melihat orang yang mengikuti seminar tersebut sangatlah banyak. Suasana yang ramai mulai terasa disaat dalam seminar tersebut sedang dalam sesi Tanya jawab. Aku dan teman-temanku pun mencari kursi yang kosong untuk dapat kami gunakan untuk duduk agar dapat mengikuti seminar tersebut. nasib yang tidak baik berpihak kepadaku, ketika teman-temanku sudah mendapatkan kursi, hanya aku sendiri yang belum dapat. Aku pun memandang seluruh ruangan apakah masih ada kursi yang masih bisa kugunakan untuk duduk. Tapi sepertinya sia-sia saja karena setelah aku melihat ternyata tidak ada lagi kursi yang tersisa. Ditengah aku sedang mencari kursi, perhatianku menjadi terpusat pada suatu lukisan yang ada diruangan tersebut. begitu indahnya. Tetapi tiba-tiba temanku datang sambil mengagetkanku,”hoiii,lagi ngapa kau ris,” sontak saja aku sangat kaget. Aku pun berkata bahwa tidak ada kursi kosong yang bisa digunakan untuk. Temanku pun membantuku untuk mencarikan kursi untukku. Tetapi tetap saja hasilnya nihil karena kursi telah terisi semua. Tiba-tiba mataku tertuju pada panggung kecil di dekat pintu masuk. Aku pun memutuskan untuk duduk disana saja karena tidak ada lagi kursi yang kosong dan akhirnya aku duduk di panggung tersebut dan mengikuti seminar tersebut.
Dalam seminar tersebut terdapat banyak undangan dari berbagai kalangan. Di seminar tersebut adalah para tamu-tamu yang diundang untuk datang sebagai perwakilan dari suatu institusi,lembaga,sekolah,perguruan tinggi dan yang lainnya. Yang terlihat dimataku adalah seperti dari Untan, UPB, STKIP, SMKN 1 Pontianak, SMKN 2 Pontianak, perwakilan dari Majelis adat budaya melayu dari setiap ,masing-masing kabupaten dan Masih banyak lagi yang datang dalam seminar tersebut. Didalam seminar tersebut banyak sekali yang dibahas disana. Salah satu yang dibahas dalam seminar tersebut adalah tentang pendidikan. Pola pendidikan melayu pada masa lalu bahkan masih dilakukan sampai sekarang yang masih dominan adalah budaya “tutur” (lisan) dari generasi ke generasi. Begitu pula dengan penurunan nilai-nilai moral seperti adat istiadat, amalan ajaran agama (Islam), pola interaksi dan sebagainya. Secara umum pendidikan melayu tempo dulu (pengetahuan tradisional) misalnya syair, pantun, budaya tulis, seperti karya sastra. Sejalan dengan perkembangan Ilmu pengetehuan dan teknologi pendidikan melayu modern diselenggarakan melalui pendidikan formal dan pendidikan non formal. Di seminar itu juga dibahas tentang peran melayu dalam bidang ekonomi di Kalimantan barat. Melayu adalah salah satu dari komponen masyarakat Kalimantan barat yang telah banyak mengukir sejarah panjang pada seluruh aspek kehidupan , termasuk perekonomian Kalimantan barat. Masyarakat melayu telah menentukan wajah perekonomian kalimanatan barat dulu. Namun kini sepertinya melayu sudah berubah posisinya, yang telah dikuasai oleh pengaruh asing dari luar. Semua itu juga dibahas dalam seminar tersebut. selain itu di dalam seminar tersebut juga membahas tentang sosial budaya melayu sekarang dan dulu yang ternyata mengarah pada perubahan sosial yang positif dan negatif. Perubahan sosial yang positif misalnya kemajuan pendidikan,IPTEKS dan kenaikan kesejahteraan ekonomi telah meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat melayu. Sedangkan yang mengarah pada perubahan yang negatif misalnya struktur sosial yang sekularistik, eksploitatif, interkasi sosial yang formalistik dan bermotif pamrih,hedonistik (hidup untuk makan,bukan makan untuk hidup), pragmatistik (orang menentukan kebenaran, bukan kebenaran yang menuntut orang).
Begitu banyak hal yang dibicarakan dalam seminar tersebut. orang-orang yang mengikuti jalannya seminar pun mengikutinya dengan sangat antusisas. Berbagai pertanyaan sering mereka ajukan jika dalam sesi Tanya jawab dan pertanyaan yang mereka ajukan sangatlah bervariasi. Dalam seminar itu juga diadakan suatu diskusi untuk mencari solusi yang dihadapi oleh masyarakat melayu saat ini dan hal-hal yang berkaitan dengan tema seminar tersebut. banyak sekali perbedaan pendapat yang semakin membuat suasana semakin seru didalam ruangan tersebut. mereka juga membahas tentang permasalahan-permasalahan yang ada. Ada juga yang memberikan pertanyaan, ada juga yang membahasnya. Salah satu perwakilan majelis adat budaya melayu dari Sintang membahas tentang keberadaan melayu dan membahas untuk mempersatukan melayu dikalimantan khususnya di Kalimantan barat. Ada juga yang salah seorang tamu bertanya yaitu Imam Kohari menjelaskan dan memberikan saran tentang meningkatkan kebudayaan melayunya. Salah seorang Mahasiswa Fisipol Untan juga membahas tentang budaya melayu yang mulai terkikis dan bagaimana mengatasinya. Masih banyak lagi yang lainnya dibahas dalam seminar tersebut dan tidak terasa waktu telah usai dan ditutup dengan pantun. Bunyinya seperti ini,” jika ada jarum yang patah jangan disimpan didalam hati, jika ada kata yang salah,jangan dimasukkan didalam hati. Pulang dari seminar kami menyempatkan untuk berkeliling sebentar untuk melihat-lihat apa-apa saja yang ada disana. Disana aku melihat pemeran lukisan,yang paling bagus adalah karya Edo Halim yang berjudul IMAGINE. Selain melihat lukisan disana juga terdapat stand-stand tiap-tiap dari kabupaten, ada yang menjual batik, ada juga yang menjual bermacam-macam bunga, pameran kelayang dan sebagainya. Setelah puas melihat-lihat disana aku dan teman-teman pun memutuskan untuk pulang dan sangat puas dengan perjalanan yang kami lakukan.
Selengkapnya...

Kamis, 06 Januari 2011

Festival Seni Budaya Melayu VI

Oleh: Sri Wulandari
(NIM.F01109006)

“ Aaaahhhh….. akhirnya perutku kenyang juga dan cacing- cacing diperutku tidak lagi bermain- main seperti orang yang lagi bermain band. Melihat jam ditangan baru menunjukan pukul 09:00 pagi. Hari ini keluar dari ruangan perkuliahan cepat dari biasanya. Selesai dari kuliah Bahasa Indonesia kami berdua Maya langsung menuju tempat makan yang tempatnya tidak jauh dari kampus yaitu dibelakang BAAK. Selesai makan kami berdua Maya sudah berniat untuk pulang karena masuk kuliah lagi masih lama sekitar tiga jam lebih.
Ketika mau beranjak dari tempat duduk tiba- tiba ada suara dretttt….drettt…. di dalam tas. Eehhh ternyataitu suara hp dan ada sms dari teman sekelas yaitu Nunung. Bunyi smsnya seperti ini…
“ Kami mau ke BPS ( Biro Pusat Statistik ) habis itu mau nonton petunjukan melayu sama budak- budak kalau sudah selesai dari BPS mau ikut tidak ?”….
Rupanya bukan aku saja yang di kirimkan oleh Nunung sms seperti itu tetapi Maya juga dikirimkan olehnya. Kami berdua pun mendiskusikan apakah ikut mereka atau tidak alasannya kami berdua pun sudah ada niat untuk pergi besok hari jumat tanggal 17 desember melihat pamerannya sekalian mengerjakan tugas yang diberikan oleh pak Dedy Ari Asfar.
Akhirnya setelah berunding kami berdua pun memutuskan untuk membalas sms Nunung dan isi smsnya mengatakan bahwa kami berdua mau ikut mereka melihat pameran tersebut. Kami berdua berniat hanya ingin jalan- jalan saja dan melihat bagaimana situasi disana jadi ketika besok kami kesana sudah mengetahui tempat- tempat pamerannya dan situasi dipameran tersebut. Nunung pun membalas sms kami berdua dan menyuruh kami berdua untuk menunggu di depan Fakultas Teknik karena dia dan kawan- kawan yang lainnya lagi berada di fotokopi yang ada di sepakat.

Sekitar setengah jam kami berdua Maya menunggu mereka. Dengan cuaca yang hari ini benar- benar tidak bersahabat. Rasa- rasanya matahari berada di atas kepala. Uuuhhhsssss…..... panas banget rasanya pengen pulang kerumah dan langsung mandi. Tepatnya pukul 10:00 kami berangkat ke BPS. Sekitar 10 menit kami sudah nyampai di BPS. Sesampainya di BPS kami lansung masuk ke dalam ruangan perpustakaan untuk mengembalikan buku yang dipinjam kemarin.
“ Eeemmmmm….. segar banget berada diruangan BPS rasanya tidak ingin keluar ujur Maya “. Setelah selesai mengembalikan buku kami pun keluar. Untuk menyingkat waktu kami langsung pergi ke rumah adat melayu yang letaknya tidak jauh dari BPS yaitu disebelah BPS. Supaya tidak bayar pakir di rumah adat melayu kami memutuskan untuk meninggalkan motor di BPS dan berjalan kaki sama- sama ke rumah adat melayu. Jadilah tidak keluar uang walaupun hanya dua ribu rupiah, biasalah mau akhir bulan uang makin menipis di dompet jadi harus berhemat ujur ku dalam hati.
Ketika mau masuk ke dalam rumah adat melayu, tiba- tiba seorang ibu meminta tolong kepada kami untuk membuka gerbang agar lebih besar lagi. Emanglah pintu masuknya dibuka kecil sekali jadi susah untuk masuk apabila bawa barang- barang. Sesampainya dirumah adat melayu kami langsung pergi ke lantai atas yang mana nama ruangan tersebut yaitu Balairuangsari. Kami beniat untuk melihat seminar adat melayu. Dimana pada saat itu masih acara seminar adat melayu.
Belum setengah tangga kami naikkan tiba- tiba Nunung yang paling depan berjalan tiba- tiba berhenti. Dia pun berbicara….
“ Coba lah kalian liat orang yang masuk ke dalam ruangan tersebut sepertinya orang- orang yang tertentu saja. Dan pakaian mereka pun rapi- rapi semua”.
Mendengar perkataan Nunung seperti itu kami semua serempak melihat pakaian masing- masing. Dan saling melihat satu sama lain sambil tertawa. Akhirnya kami membatalkan untuk tidak masuk ke dalam rungan tersebut. Kami pun berjalan mengelilinggi rumah adat melayu. Masih banyak stan- stan yang belum di buka, jadi suasananya masih belum ramai. Termasuk stan Kapuas Hulu yang masih sunyi sepi tanpa satu pun orang yang menjaganya. Dimana di stan tersebut mereka menjual kerupuk basah. Kerupuk basah adalah salah satu makanan khas Kapuas Hulu. Pembuatannya menggunakan bahan- bahan yang sederhana dan mudah di buat. Semua orang pun akan bisa membuatnya. Adapun bahan- bahannya adalah ikan untuk ikan terserah mau ikan apa yang penting bisa dibuat kerupuk basah kecuali ikan laut yang tidak bisa di gunakan untuk membuat kerupuk basah. Sebaiknya menggunakan ikan sungai yaitu ikan yang di tangkap oleh nelayan- nelayan yang masih menggunakan alat yang sederhana untuk menangkap ikan seperti menggunakan jaring. Menurut orang yang sudah pengalaman membuat kerupuk basah yang paling enak menggunakan ikan tenggiri atau biasa disebut orang Kapuas Hulu ikan belidak. Selain ikan bahan- bahan yang lainnya adalah tepung, bawang putih, merica, air yang sedang mendidih atau air panas, garam secukupnya sesuai dengan selera masing- masing, dan cabe untuk lawan makannya. Adapun cara pembuatannya adalah ikan di bersihkan dari sisik dan kotorannya, setelah itu di hancurkan sampai hancur. Setelah hancur di campur dengan tepung, bawang putih dan merica yang sudah ditumbuk dengan halus, dan garam secukupnya. Setelah semuanya di campurkan masukan air panas ke dalam adonan tersebut secukupnya sambil di aduk- aduk sampai merata dan sampai adonan tersebut bisa di gulungkan seperti berbentuk tabung. Untuk ukuran panjang terserah orang yang membuatnya. Setelah semuanya di gulung, masukkan ke dalam air yang sedang mendidih di atas kompor. Apabila kerupuk basah tersebut sudah menggapung di atas air berarti sudah masak dan segeralah untuk mengangkatnya. Untuk lawan makannya buatlah cabe atau dapat juga menggunakan saos yang dijual di toko- toko atau di minimarket. Kerupuk basah siap untuk di sajikan dan di makan.
Stan yang pertama kali kami liat yaitu bunga- bunga. Begitu banyak bunga- bunga yang cantik. Dari semua bunga yang kami liat saya lebih tertarik dengan bunga kaktus. Dimana kaktusnya bermacam warna. Dan bentuknya pun unik- unik, walaupun kecil tetapi memiliki keindahan tersendiri yang membuatnya bernilai mahal. Setelah melihat bunga kami pun melihat pameran- pameran yang lainnya. Salah satunya kami melihat pameran sepatu dan pameran bros dan kerudung. Uniknya di pameran bros saya bisa melihat langsung bagaimana cara pembuatan bros yang rantainya panjang dimana pada saat ini lagi ngetrennya bros tersebut.
Saya tidak sempat untuk berbincang- bincang dengan kakak yang sedang membuat bros karena saya melihat kakak tersebut lagi konsentrasi jadi saya takut untuk mengganggu dia. Saya pun melihat cukup rumit di dalam pembuatannya, harus tekun dan teliti sebab apabila sedikit salah bisa- bisa tangan kita terkena jarum bros tersebut. Walaupun penuh dengan ketekunan di dalam pembuatannya tetapi menghasilkan sosok benda yang sangat bagus, mewah dan yang pastinya sangat berguna untuk semua orang. Saya tidak melewatkan kesempatan ini, setelah melihat pembuatannya saya pun membeli beberapa bros yang di pajang cantik di depan stan tersebut. Begitu banyak bros- bros yang cantik dengan bentuk yang unik. Perpaduan warna yang membuatnya semakin kelihatan elegan. Harganya pun sesuai dengan barangnya dan dapat terjangkau oleh anak- anak kuliahan seperti saya.
Setelah melihat- lihat saya pun memutuskan untuk membeli dua bros yang menurut saya paling unik diantara bros- bros yang lainnya. Yang satunya berwarna kuning emas dan yang satunya lagi berwarna merah marun. Rupanya di pameran bros ini kita bisa memesan warna bros sesuai dengan keinginan kita. Selesai membayar bros tersebut kami berdua Maya melanjutkan perjalanan kami untuk melihat pameran- pameran yang lainnya. Di stan berikutnya kami berdua melihat sebuah rumah yang dibuat dengan kain- kain yang menggunakan warna kuning emas, dimana di dalam rumah tersebut terdapat barang- barang yang orang gunakan ketika menikah sesuai dengan adat melayu. Kami berdua Sempat ingin masuk tetapi orang yang menjaga stan tersebut tidak berada ditempat, jadi kami berdua pun memutuskan untuk pergi karena tidak berani untuk masuk ke dalam rumah itu.
Tanpa disadari kami berdua ditinggalkan kawan- kawan, melihat kesana kesini tidak sedikitpun kelihatan wajah mereka. Akhirnya, kami berdua memutuskan untuk kembali ke kampus dan berniat untuk kembali besok melanjutkan mencari data untuk tugas bahasa Indonesia. ( 16 Desember 2010).
Pada tanggal 17 Desember 2010 kami berdua Maya sudah janjian untuk pergi lagi ke pestival budaya melayu tepatnya malam hari setelah selesai sholat isya. Kami berdua ingin melihat lomba vocal group yang diadakan malam hari. Setelah selesai sholat isya dan saya sudah bersiap untuk pergi jemput Maya tiba- tiba hujan turun dengan lebatnya. Apabila semakin saya teruskan untuk pergi pasti baju akan basah semua. Ternyata cuaca tidak bersahabat dengan kami. Saya pun langsung sms Maya menanyakan apakah jadi untuk pergi atau tidak. Jika jadi berarti harus menunggu hujannya reda. Sambil menunggu hujan reda hp pun berbunyi ternyata itu balasan sms dari Maya. Smsnya berisi bahwa dia tidak jadi pergi ke pestival itu di karenakan hujannya lebat dan belum berhenti juga.
Walaupun Maya tidak jadi pergi itu tidak membuat saya putus asa. Saya pun langsung mengajak kawan satu kontrakkan untuk pergi nonton festival adat melayu apabila hujannya sudah reda. Detik berganti detik, menit berganti menit dan jam berganti jam saya menunggu lamanya hujan belum juga reda. Sedangkan lomba vocal group pasti sudah mulai. Benar- benar membutuhkan kesabaran di dalam menunggu hujan reda sebab kita tidak akan pernah tahu kapan hujan akan reda.
Tepatnya pukul 21:15 wiba hujan sudah mulai- mulai berhenti hanya tinggal ngerimisnya saja. Saya pun nekat untuk pergi dengan kawan satu kontrakkan. Di sepanjang jalan kelihatan sepi, tidak seperti malam- malam biasanya hanya sebagian kendaraan bermotor dan mobil saja yang melintas di jalan di karena hari hujan orang jadi malas untuk keluar kecuali ada urusan yang penting. Selain dari pada itu jalanan pun sangat licin dan harus berhati- hati di dalam mengendarai kendaraan khususnya sepeda motor, karena yang kita tahu kendaraan bermotor sangatlah rawan kecelakaannya apabila di jalan yang licin.
Hanya memerlukan waktu 15 menit saya dan kawan sudah nyampai di rumah adat melayu. Dengan pakaian yang lumayan basahnya di karenakan hujannya belum benar- benar berhenti masih ngerimis- ngerimis. Begitu ramainya orang yang datang ke pestival adat melayu sampai- sampai tempat untuk pakir motor pun sangat susah. Bahkan kata tukang pakir orang yang datang berebut- rebut untuk memakirkan kendaraan mereka. Padahal malam itu cuacanya tidak bersahabat tetapi antusias orang- orang tidak berkurang untuk menonton lomba vocal group.
Setelah memakirkan motor kami berdua langsung masuk ke dalam. Eeemmmm begitu ramainya orang sampai susah untuk kita berjalan. Dengan langkah seribu kami berdua langsung pergi ke tempat lomba vocal group. Sangat di sayangkan lombanya sudah mau selesai dan saya pun tidak tahu sama sekali mengetahui bagaimana keadaan atau suasana perlombaan. Karena ketika saya sampai ke ruangan perlombaan itu yang tampil pada saat itu adalah peserta yang terakhir. Yang saya lihat hanyalah pendukung- pendukung dari masing- masing peserta yang selalu bertepuk tangan tanpa hentinya. Melihat acaranya sudah mau selesai saya pun mengajak teman saya keluar dari ruangan untuk melihat pameran- pameran yang ada di masing- ,masing stan. Saya yakin pasti banyak pameran- pameran yang unik- unik, karena semua stan sudah terbuka tidak seperti waktu itu hanya sebagian stan- stan saja yang sudah di buka.
Tebakan saya benar, masing- masing stan mempunyai keunikan tersendiri sehingga bisa membuat orang berminat untuk membelinya. Setelah keliling beberapa kali di pameran tersebut saya dan teman saya merasa lapar dan kehausan. Kami berdua pun mencari tempat yang nyaman untuk duduk sambil makan dan minum. Tiba- tiba teman saya menepuk bahu saya dan mengajak saya pergi ke stan Kapuas Hulu untuk makan kerupuk basah. Dia mengatakan sudah lama tidak pernah makan kerupuk basah dan yang pastinya orang yang menjual kerupuk basah tersebut pasti orang Kapuas Hulu jadi bisa nyambung ngomongnya karena sama- sama orang Kapuas Hulu.
Sesampainya di stan tersebut kami berdua langsung memesan kerupuk basah 4 gulung dan dua gelas minuman the es. Sambil makan kami berdua berbincang- bincang dengan penjualnya. Kebetulan sekali di tempat tersebut ada salah satu panitia penyelenggaraan pestival adat melayu lebih enaknya lagi dia sama- sama dari Kapuas Hulu. Tidak ingin melewatkan kesempatan saya pun menanyakan tentang asal usul melayu kepada bapak itu. Bapak itu mengatakan kalau dia memiliki bahan tentang asal- usul melayu tetapi bahan tersebut tidak di bawanya melainkan ada di rumahnya. Saya pun memohon dengan bapak itu untuk menceritakan tentang asal- usul melayu, sebab saya yakin sekali bapak itu pasti mengetahuinya. Melihat ekspresi wajah saya yang mungkin bisa di katakana seperti pengemis di jalanan. Bapak itu merasa kasian dan mencerikan apa yang dia ketahu tentang asal- usul melayu. Berikut ceritanya….
Kalimantan atau Borneo adalah pulau yang mempunyai banyak misteri dan kontroversi. Meskipun bumi Kalimantan atau Borneo selalu dikaitkan dengan orang dayak, beberapa pengkaji Kalimantan berkesimpulan bahwa pulau ini merupakan tanah asal- usul persebaran bahasa melayu. Oleh itu, Kalimantan juga merupakan bumi orang melayu. Menurut Collins (1995) jumlah penutur dialek bahasa melayu di Kalimantan sekarang ini melebihi angka 50 persen dari jumlah penduduk di pulau ini. Dalam konteks etnis/ suku, orang melayu selalu dibedakan dengan orang Bugis, Banjar, Minangkabau, dan beberapa suku lainnya karena mempunyai adat istiadat dan budaya tradisi sendiri. Namun, dalam konteks cultural dan politik local suku- suku migrant beragama Islam itu mengidentifikasi diri dalam rumpun melayu. Oleh karena itu, penamaan melayu di Kalimatan mengalami kerancuan definisi yang berbeda dengan kategori melayu di wilayah pantai Timur Sumatera, Riau, Bangka dan Belitung, dimana kategori melayu di daerah- daerah itu merujuk pada asal- usulnya sebagai kelompok etnis/ suku. Sedangkan di Kalimantan, terutama Kalimantan Barat kategori melayu juga termasuk orang dayak dan keturunannya yang beragama Islam.
Potret melayu Kalimantan Barat dulu dan kini. Sketsa perekonomian melayu, melayu adalah salah satu dari komponen masyarakat Kalimantan Barat yang telah banyak mengukir sejarah sepanjang pada seluruh aspek kehidupan, termasuk perekonomian Kalimantan Barat. Masyarakat melatyu telah menentukan wajah perekonomian Kalimantan Barat dulu. Namun kini kayaknya melayu sudah berubah posisinya, buukan menjadi pelaku yang paling menentukan wajah perekonomian daerah. Keunggulan masa lalu yaitu kejayaan ekonomi, pengusaha sumberdaya, dan kualitas manusia. Kesuraman masa kini yaitu bukan pengusaha, daya saing rendah, kewirausahaan, terjebak feudalism modern, dan pendidikan yang gamang. Ada pun upaya- upaya yang dapat dilakukan yaitu melalui pendidikan, lingkungan social, pemberdayaan dan redistribusi sumber daya, serta kemitraan dan kerja sama.
Pendidikan melayu di Kalimantan Barat dulu dan kini. Eksitensi “ melayu “ baik sebagai puak satuan etnis, budaya maupun identitas hasil bentukan dari konsep/ image tertentu yang unik dengan karakteristik : bermartabat, berbudi luhur, berahlak tinggi, cerdas ( terkenal dengan karya- karya kesusasteraannya ) ramah, terbuka, bersahaja sehingga berhasill menempatkannya pada kedudukan yang layak untuk diterima bahasanya sebagai bahasa Nasional bangsa Indonesia, sebagaimana diikrarkan dalam sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
“Ya begitulah cerita singkat tentang asal- usul melayu yang dapat bapak ceritakan kepada kalian berdua”, ujur bapak tersebut. Setelah selesai menceritakan kepada kami berdua bapak tersebut langsung pergi di karenakan ada urusan yang harus di selesaikan oleh dia. Sebelum bapak itu pergi saya mengucapkan terima kasih atas bantuannya sudah mau menceritakan asal- usul melayu. Tetapi sayangnya saya tidak sempat menanyakan nama bapak tersebut. Saya melihat bapak itu terburu- buru ingin pergi. Jadi saya tidak berani untuk mengejarnya.
Melihat jam di tangan tidak terasa sudah menunjukan pukul 22:00 Wiba. Setelah membayar kerupuk basah dan minuman kami berdua pun bergegas- gegas untuk pulang karena sudah larut malam. Suasana di pestival pun sudah mulai sepi, orang- orang sudah mau pulang semua. Stan- stan sudah pada mau ditutup, bahkan ada beberapa stan yang sudah ditutup. Ternyata uang pakir cukup mahal tidak seperti biasanya, kita harus membayar dua ribu rupiah. Tapi tidak apa lah yang penting motor aman dan saya pun bisa mendapatkan bahan untuk tugas Bahasa Indonesia.
Selesai…..
Selengkapnya...

Festival Budaya Punya Cerita

Oleh: Umi Mulyani
(NIM.F01109051)


22 Desember 2010, jam menunjukan pukul 16.30 disebuah kamar sederhana tapi manis, ditemani suami tercinta yang lagi bobo kecapean kerja, aku menulis cerita ini. Sejujurnya aku kalang kabut bukan kepalang ketika mengetahui ada tugas dari Dosen Bahasa Indonesiaku. Kami ditugaskan membuat cerita tentang pengalaman menonton Festival Budaya Melayu yang diselenggarakan beberapa hari yang lalu. Padahal sebelumnya aku sama sekali tidak tau ada tugas ini karena aku tidak masuk kuliah. Karena itulah tugas kali ini benar-benar menuntut daya ingatku, yang untungnya aku juga sempat mengunjungi acara festival budayanya.
Siang itu, hari kamis tanggal 16 Desember 2010 aku berada di Rumah Sakit untuk memeriksakan batukku yang tidak kunjung sembuh. Karena bosan menunggu dan proses berobat askes yang sangat panjang seperti birokrasi, iseng-iseng aku mengirim sms pada teman se¬-genk ku yana cemot dan meri cemot untuk mengajaknya ke Rumah melayu malam sabtu ini. Taunya sms ku direspon baik oleh mereka. Positive malam sabtu ini kami gila-gilaan lagi, karena memang jadwalnya tiab malam sabtu khusus untuk nakanak d”cecam0etz, dan tidak ada kata “tapi” untuk malam ini.
Besoknya aku ke Rumah Sakit lagi, karena kemaren baru diagnosa dokter, dan harus dironsen untuk kepastiannya. Hasilnya aku positive bronkitis tapi stadium awal. Kacaunya malam sabtu itu hujan lebat. Aku sempat tidak diijinkan suamiku keluar rumah karena khawatir dengan penyakitku. Tapi tentu saja aku membantah dengan alasan sudah janji dengan teman dan kapan lagi aku bisa jalan-jalan seperti ini. Nanti kalo sudah hamil atau punya anak, mungkin aku sudah tidak berkesempatan lagi jalan-jalan dengan teman-temanku. Sukurnya suamiku mengijinkan, asal diantar sama dia dan kalo udah selesai dijemput lagi. Tapi memang keinginan suamiku lebih didengar Allah, tiba-tiba batukku kambuh ampe aku muntah dan menitikan air mata. Make up ku juga luntur,dan mataku merah. Mana mungkin aku keluar dengan tampang lusuh seperti itu. Akhirnya suamiku menelfon teman-teman ku untuk membatalkan janjiku dengan teman-temanku. Padahal teman-temanku sudah pada cantik semua. Tapi untungnya aku punya teman-teman yang pengertian dan sayang padaku. Karena aku batal, mereka juga batal pergi untuk menunjukan kesetiaannya padaku. Tapi ujungnya aku yang merasa tidak enak, jadi aku buat janji lagi, tapi sore sabtunya.

Sore sabtunya kami jadi pergi untuk memenuhi ngidam nonton festival budayanya. Eh, taunya kami kompakan pake baju bernuansa hitam putih padahal tidak janjian. Karena pas lagi kompakan, kami memutuskan untuk narsis narsisan dulu di dekat pintu gerbang yang ada air mancurnya. Tapi sebelum masuk kami ditahan oleh tukang parkir yang mukanya ngiler minta ampun. He, kayak mau makan orang. Kami diwajibkan membayar Rp2000,- per motor. Setelah puas foto-foto kaya MODELempar pake sendal, kami lanjut lagi petualangan ke rumah melayu dan kami memilih untuk ke arah kiri dulu. Disana kami melihat stan pameran yang sudah agak sepi. Katanya sih sudah pada pulang karena malam itu malam terakhir. Aku kurang ingat nama-nama daerah stan yang aku datangi. Yang pling aku ingat tentu saja stand dari daerahku, Sambas. Disana aku melihat tenunan asli sambas yaitu kain benang emas dengan beraneka motif dan warna. Ada juga buku tentang sejarah Sambas, sampai buku bergambar mirip komik juga ada. Pas sekali temanku ada yang ingin menulis skripsi tentang budaya sambas. Tapi sekali dilihat harga bukunya Rp60.000,- cukup mahal untuk ukuran buku setipis itu, dan sangat mahal bagi anak-anak kost-kostan seperti temanku. Yang jaga stan juga sangat manis, dia itu kalo tidak salah modelnya sambas dan sempat menjadi kakak kelasku di SMP1 Sambas, tapi aku lupa namanya. Jadi aku cuek aja. Waktu itu kami diiringi lagu alok galling khas Sambas.Wah, meriah sekali rasanya. Aku juga ada tuh kasetnya di rumah. Lagunya itu dinyanyikan sama Irvan vokalis Seventeen. Karena dia juga asli Sambas, tepatnya di kecamatan Tebas dan sekarang ngungsi ke Jakarta. Tidak hanya itu, aku juga melihat baju mirip batik khas Sambas. Orang menyebutnya Talok Belangak. Tapi aku kurang tau persis itu benar-benar Talok Belangak atau bukan. Rame juga sih waktu itu. Tapi yang bening-bening belum ada keliatannya. Mungkin karena kami perginya sore atau memang stand daerah kurang diminati atau apalah. Yang penting be hepy aja lah bisa ngumpul dengan teman-teman ku tersayang.
Sudah puas ngotak-ngatik stand Sambas, aku lanjut lagi jalan ke stand daerah lain. Emmm, aku ingat-ingat dulu, kayaknya waktu itu aku ada liat stand dari daerah Kapuas hulu bukan yaa,, disitu kalo tidak salah ada ibu-ibu yang bisa bikin bross dan asesoris cewek live. Lucu-lucu asesorisnya. Harganya juga lucu-lucu. Ada yang Rp7000 sampai belasan ribu. Tapi aku gak beli, he, malas aja pake begituan. Setelah itu aku jalan lagi ada liat kueh kering, amplang juga ada, pokonya berbagai macam jenis kueh kering yang aku tidak tau dari daerah mana, karena memang aku tidak baca. Oya, waktu itu aku ada liat panggung ditengah tengah paling depan. Gimana ya ngejelasinnya. Pokonya ada panggung sederhana lah buat nampilkan budaya dari berbagai daerah, mungkin. Aku sih tidak tau persis, karena waktu aku kesitu, tidak ada kegiatan sama sekali. Sukurnya tempat stand nya tidak becek, karena ditutupi pake papan. Sakitnya aku fake sepatu hak tinggi, jadi harus hati-hati jalannya agar tidak keselip lubang. Seingatku waktu itu, semua stand pasti ada barang yang dijual.dan kebanyakan asesoris dan produk asli daerah. Sayangnya waktu aku pergi tidak ada pertunjukan apapun. Aku berharap sih, bisa nonton tarian yang mewakili asal daerah masing-masing. Kan pasti seru. Kita bisa melihat keaneka ragaman budaya dari daerah kita sendiri. Tidak hanya mengenal budaya daerah lain, jawa atau aceh misalnya yang mungkin lebih dikenal dari daerah kita.
Lanjut lagi petualangannya, aku dan teman-temanku merayap ke bagian tengah, keluar dari stand budaya. Disitu lagi-lagi ada yang jual asesoris, celakanya ada yang jual dalaman wanita. Wah, jadi malu barang keramat dipajang dimana-mana. Gak jauh dari situ ada yang jual sepatu ceper, ada sih yang oke, tapi untuk ukuran kakiku tidak ada, paling gede ukuran 38, sedangkan kakiku ukuran 41. Udah gitu temanku banyak ngemeng, jadilah diomelin sama yang tukang jual. Hehe.
Masuk lagi ke dalam, bagian bawahnya rumah melayu, aku liat baju batik untuk cowok oke sangat. Harganya Rp130.000, tawar-tawar abisnya Rp105.000 tapi gak beli juga. 2x bikin kesal orang. Lagi enak jalan ketemu kawan lama dari Singkawang. Ada 4 orang semuanya. Dua diantaranya mantan temanku dari orang yang sama. Dan masing masing dari mereka udah bawa gandengan baru. Tapi temanku nyantai aja. Lagian cantikan temanku lah. Kalah saing jauh lah tuh cewek. Hehe. Karena suasana sangat dingin, kami ijin enyah dari situ. Dan lanjut lagi liat asesorisnya. Kali ini ada perhiasan mutasi emas dari koin. Ada juga oleh-oleh menara petronas dari Malaysia, yang ada jamnya juga. Tapi orangnya sombong gak mau kasi tau harganya. Dia Cuma bilang mahal. Mao manas rasanya. Tapi pas dia bilang harga perhiasan 10.000,- kami bilang murahan benar dengan ekspresi yang enggak banget. Tapi ngotak ngatik barang satu pun tidak ada yang beli. Manas orangnya sambil bilang kami tak mampu beli. Kami ketawa ngakak zak. Hehe
Disitu barang yang dijual lebih bervariasi, ada yang jual baju gamis, jilbab, tas, oleh-oleh sampai berbagai macam kuliner sedap. Hum, tapi sayangnya satu pun aku gak bisa makan. Karena mengingat pesan dari suamiku tercinta untuk tidak makan sembarangan, anti minyak dan es. Udah gitu harus pulang sebelum magrib dan bawa jaket tebal. Aku sih dari rumah kayak orang pesakitan fake jaket tebal. Tapi pas aja nyampe tempat temanku, jaket rajutan pemberian mertuaku langsung aku buka, karena kurang ajar panasnya. Tapi lagi-lagi feeling suamiku benar. Tiba-tiba saja gerimis. Waktu itu aku lagi melihat baju pantai warna-warni aduhai. Cantek-cantek bajunya. Aku mau beli, tapi orangnya gak bisa ditawar sama seekali. Mentangkan zak rame yang nangkring disitu. Padahal sih Cuma Rp 20.000 aja. Tapi bawaan pengen yang dibawah harga standar, aku gak beli juga. Taulah akhir-akhir ini aku sangat pelit dengan belanjaan. Padahal kantong masih tebal. Hehe. Cuma aku ada yang pengen dibeli. Dan harus nabung lama baru bisa kesampaian. Jadi harus pelit dulu ma diri-sendiri.
Kembali ke topik gerimis, aku teringat dengan helm kesayanganku yang masih nempel manis di jok motor. Jadi harus diamankan dulu sebelum hujan lebih lebat. Dengan sekuat tenaga aku dan temanku berlari menuju tempat parkir dan menutupi helm ku dengan jas ujan. Setelah kupastikan sangat-sangat aman, aku kembali lagi ke tumpuanku ke stand tanaman yang menarik perhatianku saat berlari. Wah, cantik, manis, rupawan, pokonya indah sekali tanaman-tanaman yang dipajang. Ada bunga kaktus yang diberi baju, ada bunga kawin, yang daunnya macam-macam model tapi dari batang yang sama, ada juga yang mirip-mirip daun keladi. tapi sekali tanya harganya ratusan ribu. Aku nyerah deh, baju yang harganya puluhan ribu aja aku tolak, apalagi Cuma tanaman yang suatu saat bisa mati karena lupa aku siram. Bendera putih ajalah kali ini. ”Cuma berniat liat aja kok buk”. Hehe.
Temanku menarikku menuju tetesan air dari langit. Kirain mau main ujan, ternyata dia mau ngajak aku ke atas. Katanya ada pameran lukisan. Sumpah aku baru kali itu liat pameran lukisan. Mungkin lebih wah dari lukisan yang pernah aku lihat di images laptob ku. Dengan girang riang gembira aku memperpanjang langkah kakiku menaiki tanjakan yang sangat curam dengan sepatu tinggiku. Perjuangan yang sangat berat, dan mengecewakan ketika kami dilarang masuk oleh petugas karena mengingat hari hujan dan takutnya tetesan air hujan di baju kami yang rusuh ini mengenai lukisan cantiknya. Ternyata tidak hanya kami yang kecewa, puluhan orang lainya yang sudah berjuang untuk nyampai ke atas tidak berkempatan melihat pameran lukisan secara langsung. Bahkan ada yang sudah renta juga diusir bahkan tidak boleh menaiki tangga berikutnya. Menyedihkan sekali.
Tapi kami tersenyum kembali ketika melihat stan yang menjual barang kenangan festival budaya melayu. Ada gelas, baju, topi sampai pin juga ada. Ditambah lagi foto kita bisa di dicetak di gelas, baju, dan pin sesuai pesanan. aku sih pengennya majangin foto nikahku di gelas mulus berwarna putih itu. Harganya Rp35.000,- anti tawar-menawar. Tapi aku gak beli, hehe, karena aku mau pesannya dibawah meja aja dan konsultasi dulu dengan suamiku. Temanku meminta kartu nama yang jual, dan berjanji kalo ingat pasti pesan. Hehe.
Tidak lama setelah azan maghrib berkumandang, tiba-tiba saja sakitku kambuh. Batuk- batuk ampe mau nagis, secepat kilat aku ke stand makanan untuk beli air sebotol. Gak tahan lagi aku cepat-cepat ngajak temanku pulang. Pasti karena aku sudah janji pulang sebelum magrib, makanya Allah ngingatin aku untuk cepat pulang. Untungnya aku ikuti pesan suamiku untuk membawa jaket rajutan tebalnya. Jadi jaketnya langsung aku pake dan aku tidak kedinginan sampai tiba di rumah. Tapi yang bikin merinding tuh tukang parkirnya. Nanya-nanya mulu kaya wartawan amatiran. Nanyanya mulai dari alamat rumah, daerah asal, sampe pulang ama siapa aja juga ditanyain ma dia. Benar-benar gerimis mencekam. Aku bilang aja pulangnya rame-rame. Padahal pulangnya menuju rumah dan kost masing-masing. Dirumah, suamiku dan mertuaku tersayang sedang menungguku untuk makan malam. Senangnya tiba dirumah langsung disambut suami tercinta, langsung disuruh makan lagi. Hehe.
Beberapa hari kemudian, di kampus FKIP UNTAN kejadiannya. Aku menanyakan tugas tugas apa yang aku tidak ketahui selama aku tidak kuliah. Aku mangabsen dari hari senen ampe hari jum’at. Tiba urutan absen hari kamis, tepatnya mata kuliah bahasa Indonesia, temanku mengatakan bahwa ada tugas membuat cerita tentang acara festival budaya melayu yang telah berakhir minggu yang lalu. Celakanya lagi tugas tersebut dikumpulkan kamis ini, sedangkan aku baru tau hari selasa. Lembur deh jadinya. Tapi berharap dengan dukungan suami aku dapat menulis cerita ini dengan baik dan setidaknya tugasku selesai. Alhamdulillah selesai sampai pukul 11.30 malam kamis. Makasih suamiku, makasih Allah. Waktunya bobo. Assalamualaikum.
Selengkapnya...

FSBM VI Kalbar

Oleh: Aris Maya Lisna
(NIM.F01109015)

Siang itu matahari bersinar dengan teriknya sampai terasa membakar kulit. Saya dan seorang teman saya yang bernama Wulan berencana untuk pergi ke Rumah Melayu yang mengadakan acara festival melayu. Acara tersebut diadakan selama satu minggu yakni dari tanggal 13 s.d 18 Desember 2010. Kami pun pergi menuju Rumah Melayu dengan menggunakan sepeda motor, selain untuk pergi melihat acara tersebut kami juga bertujuan untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen bahasa Indonesia kami untuk membuat laporan jurnalistik tentang kegiatan festival melayu tersebut. Kami memeperoleh tugas tersebut pada hari kamis 16 Desember 2010 dan pada siang harinya kami langsung pergi untuk mencari laporan mengenai kegiatan festival melayu pada hari tersebut.
Sebelum pergi kami berdua pergi mencari makan karena perut kami sudah keroncongan, akhirnya kami pun makan di sebuah kantin yang tidak begitu jauh dari kampus. Kami makan dengan lahapnya, sambil makan kami merencanakan apa saja yang akan kami lakukan di Rumah Melayu nanti. Akhirnya kami pun selesai makan setelah selesai membayar makanan kami, kami menuju parkiran untuk mengambil motor dan kami pun siap untuk melakukan perjalanan.
Saat kami hendak berangkat tiba-tiba hp saya berbunyi,
Titit titit ….
Setelah saya periksa ternya teman saya Nunung. Dia mengatakan untuk menunggunya dan ingin pergi bersama-sama bersama kami. Kami pun akhirnya menunggu Nunung di gerbang Untan, cukup lama kami menunggunya belum lagi cuaca panas yang membuat kami kegerahan. Setelah cukup lama kami menunggu, akhirnya Nunung muncul juga.

“Huuuuuffft ,,,,, akhirnya”. Ujar kami berdua serempak.
Kami pun berkendara beriringan menuju Rumah Melayu.
Ditengah perjalanan kami bertemu dengan teman-teman kami yang lain, teryata mereka juga akan pergi ke Rumah Melayu. Kami pun pergi bersamaan menuju Rumah Melayu. Lalulintas jalan sangan macet pada saat itu, belum lagi rasa panas yang kami rasakan padahal pada saat itu baru pukul 10.20 namun rasa panasnya seperti sudah pukul 13.00 yaah…. beginilah akibat dari global warming dan juga karena kota kami merupakan daerah tropis.
Akhirnya sampai juga kami di tempat tujuan, namun sebelum pergi ke Rumah Melayu kami mampir ke kantor BPS yang letaknya bersebelahan dengan Rumah Melayu. Kami mampir ke kantor BPS dulu karena bermaksud hendak mengembalikan buku yang telah kami pinjam. Setelah selesai berurusan dengan kantor BPS kami pun berjalan menuju Rumah Melayu. Kata temanku untuk berhemat kami semua harus berjalan kaki menuju Rumah Melayu karena kami tidak perlu membayar parkir. Akhirnya kami pun berjalan kaki, dan motor kami semua ditinggalkan di parkiran kantor BPS karena tidak perlu membayar parkir.
“licik juga ya …”. Ujarku.
Kami pun serempak tertawa terbahak-bahak, sampai-sampai orang disekitar kami memperhatikan kami malu juga sih diperhatikan seperti itu.
Sambil berjalan kami memperhatikan suasana disekitar kami, saat itu pengunjungnya tidak terlalu ramai karena kami melihat hanya sedikit kendaraan yang parkir itupun merupakan kendaraan dari orang-orang yang membuka stand-stand dan mungkin juga panitianya. Akhirnya kami pun sampai di depan gerbang Rumah Melayu namun gerbangnya tidak terbuka lebar, tetapi hanya cukup untuk masuk satu orang saja. Tiba-tiba seorang ibu yang ada di depan kami berteriak untuk meminta tolong dibukakan pintu gerbang agar lebih lebar karena ia tidak dapat masuk dengan membawa barang dagangan yang begitu banyak di kedua tangannya. Seorang temanku yang ada di depan pun membukakan pintu untuk ibu itu.
“terima kasih …. “. Kata ibu tersebut
“iya bu, sama-sama “. Jawab temanku.
Akhirnya kamipun sudah berada di dalam, kami pun mulai melihat-lihat. Banyak sekali stand-stand yang didirikan di sekitar Rumah Melayu. Dibagian halaman depan ada stand motor mulai dari kendaraannya sampai suku cadangnya kemudian disebelah kirinya ada stand yang dari luar seperti pondok kami pun melihat-lihat didalamnya, ternyata didalamnya terdapat baju-baju daerah Melayu serta pernak-perniknya seperti barang-barang yang ada pada upacara pernikahan. Kemudian kami pun melanjutkan penjelajahan kami. Kami berjalan kea rah halaman sebelah kanan. Di sana kami melihat banyak sekali stand-stand yang memajang barbagai macam tanaman.
Kami pun mulai memasuki stand satu persatu, kebanyakan tanaman yang dipamerkan adalah kaktus, bunga anggrek, bunga delapan dewa, dll. Mereka memiliki banyak sekali macam-macam kaktus mulai yang berbunga maupun yang tidak. Mereka menjual kaktus tersebut dengan harga yang bervariasi yang menurut saya cukup mahal, namun untuk seorang pecinta tanaman terutama ibu-ibu harga tersebut tidak terlalu mereka permasalahkan. Kami juga melihat-lihat bunga anggrek yang mereka namun sayang, jenis anggrek-anggrek tersebut tidak banyak dan kami pun lupa untuk menayakan nama-nama dari anggrek tersebut. Jenis-jenis bunga delapan dewa yang mereka pamerkan pun tidak banyak sehingga kami hanya melihatnya sekilas saja. Kami pun terus menyusuri sepanjang jalan di depan stand-stand tersebut, tiba-tiba kami melihat stand yang menjual pakaian yang berada di stand paling ujung. Tetapi kami tidak melihatnya dengan lebih jelas, karena kami kurang berminat.
Kami berjalan berbalik, dan menuju Rumah Melayu. Kami menaiki anak tangga satu persatu untuk menuju pintu masuk Rumah Melayu tersebut, ketika kami melihat kearah bawah di kanan kiri tangga tersebut terdapat kolam kecil dan kami melihat beberapa ekor anak ikan emas yang sedang berenang kesana kemari. Ketika kami sudah sampai di depan pintu masuk utama kami membaca ada tulisan “Balairuangsari “ yang terletak di atas pintu masuk. Namun akhirnya kami mengurungkan niat kami untuk masuk ke dalam karena, sedang ada kegiatan seminar yang membahas tentang kebudayaan melayu. Menurut jadwal yang kami baca, pada tanggal 16 Desember tersebut ada agenda seminar namun kami tidak pergi untuk mengikuti seminar tersebut.
Setelah itu kami pun berbalik arah untuk turun, dan kami berjalan untuk mencari stand-stand lain yang belum kami kunjungi. Kemi berjalan menuju ke arah bawah Rumah Melayu tersebut ternyata di sana pun banyak sekali stand-stand yang didirikan mulai dari makanan, minuman, pakaian, sampai aksesoris. Stand pertama yang kami kunjungi adalah aksesoris kami pun mulai melihat-lihat aksesoris yang mereka jual. Macam-macam aksesoris yang mereka tawarkan seperti bros, gelang, cincin, pin, aksesoris rambut dll. Harga yang mereka tawarkan pun berbagai macam, mereka menjual barang-barang tersebut dengan harga dua kali lipat dari harga yang ada di pasar. Saya berfikir, banyak juga mereka menga,bil keuntungan.
Setelah puas melihat-lihat aksesoris kami pun menuju stand yang ada di halaman sebelah kanan Rumah Melayu, di sana kami menemukan berbagai macam stand seperti sepatu, aksesoris, pakaian, makanan, minuman dan kami juga melihat ada stand Koran Equator dipojok stand. Kemudian kami berjalan menuju stand pakaian dan melihat-lihat setelah ditanyakan harganya ternyata mereka menjual barang-barang tersebut dengan harga dua kali lipat dari harga biasanya akhirnya kami pun tidak berminat untuk membelinya. Kami pun berjalan ke arah stand yang menjual sepatu namun sepatsepatu tersebut tidak ada yang menarik, malahan saya melihat sepatu tersebut stok lama sehingga terlihat tidak menarik. Karena keasyikan melihat-lihat barang-barang saya jadi terpisah dengan teman-teman yang lain. Saya dan wulan akhirnya hanya berdua saja, sedangkan nunung dan teman-teman yang lain pergi entah kemana.
Kemudian kami berdua melanjutkan perjalanan untuk melihat-lihat lagi stand yang belum kami kunjungi yakni stand aksesoris. Setelah kami sampai ditempat tersebut kami sangat senang karena barang-barang yang mereka jual sangat menarik. Mereka mejual berbagai macam bentuk bros dan gelang dengan bentuk yang sangat menarik. Ternyata barang-barang tersebut dibuat dan dirangkai sendiri oleh penjualnya. Kami pun dengan tekun memperhatikan cara penjual tersebut merangkai Kristal-kristal tersebut dirangkai menjadi sebuah benda yang sangat menarik. Dengan cekatan penjual tersebut merangkai Kristal-kristal tersebut dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Harga yang ditawarkan bervariasi sesuai dengan banyaknya Kristal yang dipakai untuk merangkai sebuah bros atau gelang. Akhirnya kami hanya bisa membeli barang yang paling murah, namun biarpun murah tetap menarik dan bagus.
Setelah puas berjalan mengelilingi Rumah Melayu, akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Ketika hendak keluar dari pintu gerbang, kami teringat dengan teman-teman yang lain. Karena tidak menemukan mereka, kami memutuskan untuk pulang duluan dan memberitahu mereka melalui sms.
Dengan cuaca panas yang semakin menyengat karena hari sudah siang sehingga panasnya benar-benar terasa kami berdua pun berjalan kaki menuju kantor BPS yang berada disebelah Rumah Melayu untuk mengambil kendaraan kami. Dengan parkir di kantor BPS kami tidak perlu mengeluarkan uang Rp 2000 untuk membayar parkir. Kami pun pulang ke rumah masing-masing dan memikirkan pembuatan tugas bahasa Indonesia.
Selengkapnya...

Jumat, 31 Desember 2010

Akhir dari Festival Seni Budaya Melayu VI MABMKB

Oleh: Rara Wiraswita (smile_akhwat07@yahoo.com)
(NIM.F01107012)

18 Desember 2010 pukul 17.35 tepatnya setelah hujan reda dan menjelang magrib, aku tergopoh-gopoh bersama Gadis berbaju batik (namanya memang gadis), hari itu ku sempat-sempatkan untuk datang karena hari itu adalah hari terakhir dari FSBM VI karena sungguh PPLku kala itu membutuhkan perhatian lebih dariku.
Saat ku datang dengan baju kuyup, aku sisiri semua daerah adat melayu itu,
“tak ada yang special” gumamku dalam hati,
sementara temanku Gadis masih sibuk dengan alur pikirnya akan laporan PPL.
“Ini memang pemaksaan Gadis, maafkan aku” menyesalku dalam hati.
Aku memerlukan sudut pandangmu sebagaimana engaku memerlukan aku sebagai pemadu jalan ke rumah Dosen malam ini juga.
Selewatnya kami memarkir motor yang dengan tariff Rp 2.000,- per kendaraan. Kami melangkah gontai menuju Rumah Adat Melayu yang layu diterpa hujan. Ku kunjungi setiap stand,
“cukup beragam” ucapakan ku untuk memecah kedinginan diantara kami.
Gadis hanya menatap, entah menandakan ia mendengar atau meminta pengulangan atas kalimatku. Aku senyum saja untuk melumerkan suasana.
Aku merasa situasi ini mulai tak nyaman, karena focus temanku tak bersamaku. Akhirnya ku cari panitia untuk ku tanyai jadwal festival hari ini. Aku bertemu tapi tak berani bertanya. Aku gugup karena mereka berbadan tinggi besar. Aku anggukan kepala saja kepada mereka.

Aku susuri kembali halaman bawah bagunan khas tersebut, ku melihat pintu terbuka yang cukup ramai orang-orang berada didalamnya. Ku lirik kertas putih yang menempel disamping pintu, “ini dia” tunjukku.
Ku lihat jadwal, “ehm… penutupan, baiklah mungkin hanya ini jatah untukku” bicaraku sendiri,
“yuk pulang” ajakku pada wanita yang sedari tadi terus mengutak-ngatik HPnya.
“hah? Pulang” jawabnya seolah kaget
“iya” jawabku singkat “kan masi mau ngejar tanda tangan dosen untuk laporan kalian? “
“tapi tugasmu?” balasanya yang terasa hawatir dengan ku.
“tar malam aja, sekarang gak ada apa-apa” responku sok menangkan.

Magrib kami habiskan dijalan, sampai isya pun masih dalam perjalanan tapi perjalanan pulang kali ini. Kuputuskan untuk pulang dulu, berganti baju, lantas baru mengejar acara penutupan festival.
Aku janjian dengan gadis, karena ia ingin tetap ikut walau sudah ku sarankan untuk istirahat di rumah sahaja.
Tepat pukul 20.30 sesuai jam janjian aku berada di jalan Sultan Syahrirabbdurrahman, dentuman meriam seolah menyambut kedatangku karena hiasan pengganti janur tak lagi sanggup menyapa para pengunjung, mereka seperti lelah.
Ku parkir si butut di kantor Gubernur lama, depan pintu kantor arsip daerah, “tada lagi tanah melayu untuk mu tut” ledekku pada si motor hitam.
Kujalankan kaki ku dengan berat karena gelap buat kantukku tak tertahankan, ku lihat langit yang menaungi Festival kebanggaan suku melayu tersebut penuh binar kembang api. Aku lewat pintu masuk, “sesak” itulah satu kata yang tepat untuk situasi kala itu. Aku berdiri kira-kira 5 meter dari LCD besar ke-2 yang terpasang disana.
Kuingat-ingat apa yang baca sore tadi, “ 20.00 – selesai: penutupan menampilkan juara-juara dari setiap perlombaan” itu yang terlintas saat ku mengingat.
Penutupan, kulihat di layar tersebut berisikan para lelaki yang menari. “inikah pemenang lomba tari?” pertanyaan ku sendiri yang pasti tak ada yang menjawab.
Ku terka-terka dimana lokasinya, ku miringkan kepala untuk melongokan pandangan pada panggung yang ada didepanku.
“kosong” kataku spontan. “gimana sih ada layar tapi gada sound” dumelku.
Aku paksa kan kaki untuk membawa diri lebih jauh, “naik keatas ajah ah”
“padat banget” aku mulai terhasut rasa lapar dan kantuk.
Ku jinjitkan kaki pada jendela, ah hanya ada kepala-kepala saja.
Kucoba ikut meramaikan antrian yang sudah sepertinya tak perlu lagi diramaikan.
“ada bule”
“liat tuh”
“yang mana, mana?”
“ih yang itu ganteng”
“ih coba liat ada banci… wakakakakakakaka”
“idih buncit…”
“udahlah pulang aja yuk”
“yuk bang cepat masuk”
Begituklah kata-kata yang berseliweran, tak tahu siapa yang bersuara, hanya ramai remaja saja di sekitarku.
Ku tegakkan kepala mendekati pintu masuk Rumah adat itu, kulihat laki-laki besar berkata “antri-antri, yang tertib, jaga barang berharga”
“jaga barang berharga” ulangku… kuhanya senyum-senyum,
kulihat didepanku pemuda memegang bahu pemudi yang ayu, “itukah barang berharga baginya” gumamku sendiri,
lihat ke kiri seorang wanita sebaya memegang erat tasnya, “itukah barang berharganya?” gumamku lagi.
Lantas aku melihat diriku sendiri, dan berdengung kalimat seruan “jaga barang berharga anda” langsung saja ku tutupi bagian depan tubuhku dengan tas yang kujinjing. Aku pun tersenyum geli sendiri,
“mau masuk saja bisa ada cerita begini” helaku setalah masuk.
Senyumku dari geli itu pudar ketika melihatnya, “oh tidak,” eluhku sembari menutupi muka dengan tangan kanan sendiri.
“ohw disini rupanya” sapanya
Aku terus saja jalan berusaha untuk melihat pentas di depan. Sungguh festival. Tempatku berdiri membuatku tak leluasa untuk memantau apa yang di tampilkan didepan sana. Dan sepertinya dia tahu gelisahku.
“yuk ikut aku kita kedepan” tukasnya.
Aku hanya mengkerutkan kening yang kukira itu bisa mewakili jawaban untuknya.
Saat di menunjukkan arah dengan berjalan duluan dariku maka aku mundur kebelakang, lantas dengan dengan sigap mengayunkan kaki ke arah yang berlaianan darinya. Dia kulihat menuju arah depan kanan. Maka aku ke kiri. Sekitar 5 meter dari panggung aku berdiri, kulihat sang pembawa acara
“bang cecep” ucapku lirih.
Guru teaterku dulu. Gelagatnya tak berubah. Tetap humoris dan kemampuan memadu-madankan kata yang tetap luarbiasa.
“yah kita tampilakan nyanyian beserta tarian khas dari para perempuan cantik” begitu kata MC perempuan yang tak kukenal.
Kulihat, ku tanyakan pada diriku sendiri “tergugah kah engkau Rara?” aku menggeleng.
“sudah tahu tidak menyukai musik, kenapa masih datang?” dailogku dalam hati
“karena tugas, bukankah engakau tahu sendiri” kilah Ruhku
“lha, kalo gitu harusnya kamu cari liputan yang membuatmu senang”
“masak,eeeeeehmmm.. kuliner khas melayu?”
“iya yah kenapa gak ngejar itu” kesalku sendiri. Ah sudahlah kita focus saja pada moment terakhir ini.
“Heiiiii” suara yang membubarkan dialogku sendiri.
“kok tadi gak ikut sih, tuh disana kosong” dia menunjuk kearah kanan panggung yang bagiku terlihat sama padatnya.
Aku diam karena bagiku itu tak perlu untuk dijawab.
“berikutnya adalah pemenang lomba biduan wanita terbaik” suara MC yang membuatku menatap panggung lebih serius.
Tak berapa lama keluarlah wanita, imut dengan pakean khas dayak. Ia menyanyi, entah lagu apa yang didendangkannya.
Aku terpaku ada wanita paruh baya yang duduk tak jauh dari ku berdiri, ia mempertemukan kedua telapak tanggannya dengan lembut. Mulutnya komat kamit mengikuti lafaz sang biduan. Matanya mencerminkan rasa senang yang tak terkira. Aku duga mungkin ibunya atau guru menyanyinya.
Lagu berakhir berganti dengan tepuk tangan yang meriah dari para penonton.
“kita lanjutkan dengan busana terbaik dari kota Singkawang, inilah dia para pragawan dan pragawati dari kota Singkawang” kurang lebih begitulah wanita berbaju merah didepan berkata.
Ku lihat lagi, baju teluk belanga, baju dayak, baju corak ingsang. Hanya tiga baju, begitu juga dengan yang pria.
“biase jak ye” si krudung hitam berkata pada sekelompok temannya.
“he’eh mamak aku punye tuh, telok belaga” yang lain menyahut
“telok belanga ke baju kurung?” yang berjaket bertanya
“saya numpang menyimak” izinku menyela dalam hati.
”he’eye ape bede?” yang lain ikut bingung sepertiku yang bingung juga.
“eh tapi cobe kau perhatikan ye, ngapelah baju itu tuh warnenye kuning, ngape tadak ijau, merah ke, ato ape keh? yang bertas selempang kali ini bersuara.
“mulai seru ni” responku dalam hati,
“ngape ye?” 1 diantra mereka bersuara menandakan mereka berfikir,
Ada yang serius menjawab “aku tahu, aku tahulah jawabannya” ia lanjutkan “ ituh tuh karna takdirlah, wahahahahahahahahahahaha” tawanya menutup jawabnya yang ngasal. Yang lain pun ikut tertawa dan aku pun juga jadi menahan tawa.
Setelah memperhatikan beberapa gaya yang dipertunjukkan untuk para penonton termasuk aku,
maka aku bertanya “kok gada biduan prianya ya?”
ku napak tilas, hem.. sepertinya pas aku aku masuk lelaki sedang bernyanyi disitu, iyakah tapi?
Kebingunganku hilang ketika sang pria berbaju kuning diatas panggung menyebutkan beberapa nama para pejabat teras, ada bupati sanggau, bupati singkawang dan bupati lainnya yang agak tak kuhiraukan karena telpon genggamku berbunyi,
“sms” kataku.
Kulihat 6 panggilan tak terjawab dan 11 sms,
Kulihat “Gadis Rizki Utami”
“ya ALLAH, ku alpakan dia, bukankah kami janji bertemu”
Ku coba telpon balik, suara tak jelas, ku matikan, ku lihat jam meunjukkan pukul 21.45 dan ku kirim pesan singkat yang berisikan “maaf ya Dis, kita miscom, ra juga uda mau pulang ni. Mendingan kita pulang aja yuk”
Aku pun pulang.
Akhir dari festival seni budaya melayu VI, majelis adat budaya melayu kalbar, MABMKB, mencapai cita memperteguh marwah bagiku adalah menyisakan Tanya,
“bedakah baju teluk belanga dengan baju kurung? Lantas kenapa baju khas melayu tersebut berwarna kuning (kebanyakan)?”
Selengkapnya...