Rabu, 19 Januari 2011

Festival Seni Budaya Melayu di Rumah Adat Melayu

Oleh: Nurul Wahidah
(NIM.F01109008)

16 Desember 2010 pukul 09:45
“Sini dek…sini dek...”
Riuh suara abang-abang parkir memanggil, dengan lambayan tanggannya yang sangat memaksa untuk menitipkan kendaraan milik kita kepadanya.
“Ga bang sana aja, kami pun lantas pergi meninggalkannya seolah tak tertarik dengan lambayan dari tanggan-tanggannya”.
“o..die nak ke BPS” sahut salah satu abang parkir yang kami lewati tadi.
Kami pun memutar, untuk singgah di kantor Badan Pusat Statistik. Motor-motor mungil kami pun berbaris indah di parkirannya, bak bala tentara berkuda yang siap menerjang musuh. Bukan maksud untuk menghindar dari abang-abang parkir namun memang ada keperluan di sana. Selesai urusan kami, kami pun bergegas ingin melihat keramaian yang ada di sebelah kantor yang kami singgahi.
“Plak.. plok..plak..plok.. alunan gemuruh dari langkah para wanita. Wanita perkasa lagi jelita itu yaa…pasti kami.
Dek..tolong dek, buka kan Ibu gerbang ni..”ape jak tukang parkir ni, bukan ga’ kite ni tak bayar” sambil ngedumeh seorang Ibu pengisi salah satu stand di Rumah Adat Melayu.
Sreeetttt gerbang pun saya dorong seolah-olah menjadi pahlawan di siang hari dengan panas terik yang menyengat kulit.
“Haaa makaseh dek ye” sahut ibu itu.
“O,iya bu sama-sama”sahut kami kompak dengan nada ramah dan senyum yang mekar lagi mempesona bak bunga di Taman Anggrek.
Setelah melewati gerbang, kami langsung menuju ke Rumah Adat. Baru saja menaiki beberapa anak tangga, kami sudah di lirik oleh petugas yang menjaga di sana.
“Oh pakaian kite salah kali neh”

” Haa..mungkin ga’ lah, cam mane lah kite nak masok kalo cam gini nih”
“Atau ga’ hanye undangan resmi yak yang boleh masok situ’ kayak e lah,alaaa eh cam mane lah”
Dari hasil percakapan kami di anak tangga yang ke lima, kami pun memurungkan niat untuk masuk ke dalamnya.
“Dah lah, kite mutar-mutar sine’ jak liat stand-stand yang ade”
“Aok lah mau cam mane age dari pade balek dengan hampa, bagos kite cari yang laen buat jadi bahan berite tugas Bapak tu” , sekalian gak cuci mate me makan angin.
Akhirnya kami memutuskan untuk mengelilingi Rumah Adat yang diramaikan dengan stand-stand. Bagaikan tawaf saat Haji, kami pun mengelilingi satu persatu stand yang ada.
Di sebelah kanan dari arah masuk, terlihat bunga-bunga indah yang memancarkan aura kesejukan bila dipandang. Dari sebelah kiri terlihat pula keramain beberapa orang lelaki yang mengelilingi sebuah motor unik, motor itu bagai primadona yang dikelilingi para pria.
“Oke,jadi kite nak ke sebelah mane lok?”
“Liat bunge yak lok yok, woi” jawab salah seorang teman.
Berjalan melihat-melihat bunga yang indah sungguh menyenangkan, setidaknya menyegarkan mata bagi pengagum bunga. Bunga yang dipamerkan pun tidak biasa bisa dibilang lumayan luar biasa,tidak kalah hebohnya dengan pameran bunga disana juga banyak terdapat bunga walau tidak sebanyak yang ada di pameran bunga tentunya. Ada bunga kaktus, angrek, bongsai, dan banyak jenis lainnya dengan berbagai ukuran.
“Alaaa…cantek woi, ih pengen aku beli kan to emak aku nih” sahut seorang teman yang teringat akan kesukaan Ibunya.
Tidak heran setiap anak yang liat ke stand bunga tersebut akan berkata “waw keren” dan berpikir sama, berpikir untuk memilikinya. Tidak heran juga bila seorang Ibu akan berada berjam-jam disana hanya untuk memperhatikan bunga-bunga yang sangat menggodanya dengan penuh harapan untuk memilikinya. Tidak hanya kaum hawa saja yang terpaku melihat kecantikan bunga-bunga itu, namun para kaum adam juga ada yang mengincarnya.
Tidak ada niat untuk mengeluarkan uang, kami pun berlalu meninggalkan bunga-bunga itu. Melanjutkan perjalanan menuju stand selanjutnya,yaitu stand makan. Kami menyebutnya stand makanan karena didalamnya terdapat banyak jajanan makanan.
“Ih ade kerak telor..ih pengen,yok beli yok”
“belom buka, orang e yak taka de”
“nanti malam kayak e baru ade”
“aok..keawalan be kite nih, banyak gak yang belom buka tuh”
“Oke…” saya pun mengurungkan niat untuk mengganjal perut dengan sebungkus kerak telor.
“Rupenye ndak gak makanan semue woi, ade gak yang jualan bros” sahut seorang teman yang membuyarkan hayalanku untuk memakan kerak telor.
“Ih iye..liat yok”
“yoookkk” sahut serentak dengan semangat mengebuh bak orasi di depan bundaran UNTAN untuk kasus korupsi. Maklumlah para wanita akan semangat bila mendegar pernak-pernik wanita, bagaikan banteng yang ingin menyeruduk kain merah matadornya.
Stand yang satu tidak menarik, lanjut ke stand slanjutnya, tidak ada yang menarik lagi lanjut ke stand selanjutnya akhirnya kami putuskan untuk keluar dari satand-stand yang tepat berada di bawah gedung tersebut.
Sorot mata yang tajam bak pisau daging dirumah, mata kami pun tertuju melihat sebuah stand.
“toowewew…” seolah ada intro music ketika itu.Dengan mata yang masih terbuka lebar.
Ternyata ada sebuah stand yang membuka untuk dalaman para wanita. Tak heran jika stand ini dimonopli oleh anak perempuan, anak dewasa perempuan, orang dewasa perempuan, orang tua perempuan dan yang terakhir orang lanjut usia perempuan. Menarik sekali ada sebuah stand yang membuka khusus dalaman wanita. Yaa..cukup menghibur untuk para kaum hawa. Sayangnya kami belum siap untuk merogoh kocek. Kami pun hanya singgah sebentar lalu pergi meninggalkannya.
“oke lanjut woi” sahut seorang teman seolah tak kenal lelah.
Stand itu pun kami lewati, selanjutnya ada stand yang menjual sepatu dan sandal. Begitu pula dengan stand-stand sebelumnya. Kami hanya singgah kemudian berlalu.sebelum hendak beranjak dari tempat itu terlihat seorang teman sedang repot mengurusi paku-paku yang bececeran di samping box sepatu.
“Cepat lah ayak” kebetulan namanya soraya singkatnya dipanggil ayak.
“tunggu lok aku bereskan paku na, hamper yak aku kena”
Usai menyingkirkannya kami pun berkata ke pada penjaga stand.
“Pak, ade paku tah bececer di bawah”
“o..iye dek”sahut penjaga itu.
Sepertinya tak ada yang menarik lagi di sekitar itu, kami pun pindah haluan ke stand-stand yang ada di sebelah pojok kiri dari rumah adat melayu. Tak lama ketika itu sebuah pesan singkat pun mendarat kepada saya.“Nung, kame pulang duluan ye sama Maya. Kame mau cari buku Perpajakan di Mall” isi dari pesan singkat itu.”okeh..hati-hati” balasku kepada Wulan dan Maya yang sebelumnya ikut dalam pasukan sebelumnya. Kami pun tinggal berenam, namun tidak memeatahkan semangat kami.
Selanjutnya kami masuk ke stand daerah. Disana terdapat berbagai daerah yang ada di Kalimantan Barat dengan kerajinan tangan dari daerahnya masing-masing. Namun banyak daerah-daerah yang tak tampak di stand-stand tersebut, sebagai contoh stand dari Kabupaten Sintang. Cukup pada hari itu kami pun memutuskan untuk kembali ke kampus.

18 Desember 2010 pukul 19:50
Tit…tit..tit..
Suara klakson meramaikan suasana malam minggu itu.
Muda-mudi sibuk dengan gaya alaynya. Bedak tebal, mengalahkan cat dinding rumah. Parfum menyerbak harum mewangi menyumbat hidung. Baju meriah, bak rstu semalam. Tapi ada pula dengan gaya santai kayak di pantai, ada pula gaya cuek kayak bebek, dan berbagai gaya masing-masing. Kota Pontianak bak di banjiri manusia dengan kendaraannya ketika itu. Dan saya rasa setiap hampir malam minggu terjadi hal yang sama terkecuali hujan mengguyur. Walaupun ramai, saya dan Woro tidak membatalkan untuk menonton Festival Seni Budaya Melayu.
Begitu sampai di Jalan Sultan Syahrir Abdurrahman, kendaraan-kendaraan yang hendak singgah ke rumah adat melayu cukup ramai juga. Terasa padad merakyat, kami pun terasa tertatih-tatih untuk sampai ke tempat tujuan yaitu Rumah Adat Melayu. Ketika sudah sampai dan dan hendak membanting stir ke kanan untuk masuk ke sana kami pun dilarang oleh seorang polisi, kami disuruh untuk memutar bundaran dulu baru bisa parkir. Dengan mengindahkan perkataan Pak polisi itu, kami pun lurus kemudian memutar bundaran. Sebelum sampai ke tempat tujuan kami pun dikejutkan dengan suara meriam yang tak jauh dari Rumah Adat itu.
“BUUARRR” dahsyatnya letupan itu
“huaaa…teriak saya dan Woro serempak”
“baleee… aku kaget nung”sahut Woro
“aku juga..sameee” histerisnya kami berdua.
Sambil menenangkan diri di jalan, kami pun sampai di tempat tujuan.
“Bayar parkir dulu mba, dua ribu” sahut tukang parkir di depan kami.
Setelah membayar parkir kami meletakkan motor yang diparkirkan di Badan Pusat Statistik. Jika dipikir hari sebelumnya kami gratis tapi malam ini kami harus membayar. Mungkin saja karena malam hari, jadi tidak ada aktifitas di BPS lagi sehingga mereka menggunakannya untuk lahan parkir. Tanpa memperpanjang masalah parkir kami pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju FSBM. Di gerbang masuk, telah menunggu gadis imut yaitu Rayesti. Yang sebelumnya telah janjian untuk pergi bersama, namun dia telah sampai di tempat tujuan terlebih dahulu.
Tanpa basa-basi kami bersama-sama berjalan beriringan bagai sepasangan orang tua dan seorang anaknya. Seolah dua tahun tidak ketemu kami pun berbincang hangat dan saling bersenda gurau. Karena sebelumnya kami telah melihat-lihat stand yang ada di sekeliling, kami memutuskan untuk langsung naik ke Rumah Adat untuk melihat acara yang ada. Namun belum sampai di pintu masuk menghentikan langkah. Kami pandangi setiap orang yang masuk. Setiap orang yang masuk harus memperlihatkan undangannya.
“oh ternyate hanya orang yang punye undangan yak yang boleh masok”
“Ha’a Nampak nye tuh”
“dah lah ke bawah yak kite mutar-mutar”
Sekarang pemandangannya sungguh berbeda, mungkin karena kemarin kami pergi masih pagi ataupun karena ini penutupan jadi banyak pengunjung yang datang. Banyak stand yang kemaren tutup sekarang telah dipadati pengunjung. Kami pun melangkah ke stand dari setiap kabupaten di Kalimantan Barat. Panggung yang kemaren sepi tak di isi para penghibur, kini tampak alunan music khas melayu berdendang dari atas panggung tersebut. Sungguh nikmat dipandang, mereka menggunakan pakaian adat melayu, sungguh sedap di dengar alunan musiknya.
“Kemaren ade debu” sahut Rayesti
Wah betapa irinya rasa hati mendengar ada Debu “sebuah kelompok musik islami” datang ke acara tersebut. Saying sekali kami tidak dapat melihatnya, tapi terbayar dengan music melayu yang ada di depan kami. Karena ramai, kami pun hanya bisa melihat dari kejauhan, dan sebagian lagi terlihat kepala-kepala orang berdiri tegak yang berada di depan kami. Walau pun perlu mengangkat kaki untuk melihatnya tapi lumyanlah dari pada tidak sama sekali. Sungguh hiburan yang menyenangkan. Tidak hanya kami saja yang merasa senang, penonton lain pun juga merasa terhibur.
Di luar stand ternyata terdapat TV super besar, yah bisa dikata layar tancap. Ternyata yang tergambar di layar tersebut adalah rangkaian acara yang ada di dalam gedung. Ternyata panitia sudah menyiapkan bagi mereka yang tidak mempunyai undangan resmi sehingga dapat menontonnya di luar gedung. Tapi sayang seribu kali sayang, layar yang begitu megah itu tak terdegar suaranya bak berpantomim di layar kaca.
Tak hanya menghabiskan waktu di situ saja, kami pun masuk ke bawah gedung yang berisi banyak jajanan makanan. Hari ini sungguh pembalasan hari kemarin yang kami tidak sempat mencicipi kerak telor.
“eh tuh ade kerak telor”
“eh iye ade, berarti kemaren gare-gare masih pagi mungkin die belom buka kali”
“ha’a kali y’ yok lah kite cobe”
Kami pun seolah-olah dihipnotis dengan cara pembuatannya, seolah-olah ingin belajar memasaknya.
“ada telur bebek ada telur ayam, mau pake telur yang mana mba? Telur ayam sepuluh rebu, telur bebek dua belas rebu? Tanya penjual kepada kami.
“ih ndak ah pake telur bebek” sahut Saya dan Rayesti
“enak be woi, cobe kitak rasa” sahut woro
Begitu lah terjadi adu telur ayam atau bebek diantara kami. Akhirnya kami putuskan untuk memakai telur ayam. Karena kami berdua memilih telur ayam, sedangkan Woro hanya sendiri memilih telur bebek.
“yeee…dua lawan satu menang dua”
“iye lah” sahut Woro
Karena ramai yang memasan kami pun mendapat giliran ke tiga setelah ibu-ibu sebelumnya dari kami. Karena tak ingin menunggu terlalu lama, kami pun berinisiatif untuk berjalan-jalan terlebih dahulu baru kemudian mengambil pesanan kami. Tak jauh dari tempat itu kami banyak bertemu senior-senior kami dan kawan-kawan lainnya, bak reunian akbar. Tak lama kami berbincang, kami teringat akan pesanan kami tadi. Setelah jadi, kami pun langsung menyantapnya, yang sebelumnya sibuk mencari tempat makan yang enak tidak menganggu lalu lintas jalan dan tidak dipandang orang ramai. Akhirnya kami memutuskan untuk menyantapnya di belakang mobil tepatnya di depan layar tancap tersebut.
“waw fantastic, boombastik, yummy, yahud “ kehebohan kami menyantapnya
Sebungkus kerak telorpun habis kami makan bertiga. Sudah kenyang waktunya kami pulang.sepertinya sudah tidk ada yang ingin dilihat lagi karena keramaian. Akhirnya kami putuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Woro bersama saya pulang bergoncengan, dan Rayesti pulang sendiri. Kami pun pissah di lampu merah, dan pulang ke rumah masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar